Jika saja ada yang memberiku hadiah saat aku keluar dari penjara, aku berharap dalam hadiah itu tertulis “ Selamat menempuh hidup baru”. Sama seperti tulisan yang ada dalam hadiah pernikahanku. Sebab kini hidupku benar-benar baru. Berbeda dengan sebelum aku dipenjara.
Kini aku bukan lagi pria yang sukses berkarir. Jangankan berkarir, pekerjaanpun aku kini tak punya. Ijazah dan pengalaman kerjaku yang dulu memakau banyak orang, kini tak ada gunanya. Siapa yang mau memperkerjakan lelaki pintar bergelar ex narapidana. Mereka pasti takut aku melakukan kecurangan. Hanya perusahaan orang-orang jahat saja yang mau menerimaku bekerja. Sebab mereka ingin mengeruk kepandaianku untuk keuntungan mereka saja. Dan aku tak ingin bekerja pada mereka. Aku tak ingin jadi mereka kambing hitamkan lagi.
Hidupku kini benar-benar baru, sebab aku juga bukan lagi anak laki-laki yang dibanggakan orang tuaku karena bisa mudik dengan mobil terbaru disaat kawan sepermainanku masih bingung membayar cicilan sepeda motor.
Hidupku benar-benar baru karena aku kini tak lagi berkantor di gedung megah. Duduk di kursi empuk dan sibuk menjawab telepon para kolega bisnisku. Kini setiap pagi aku duduk di kusi bulat kecil belakang rumah. Mencuci popok anakku. Selebihnya aktivitasku lebih banyak berdiri. Menyapu, mengepel, menyuapi makan anakku dan mertuaku yang sakit dll. Mungkin orang akan menyamakan diriku dengan pembantu rumah tangga atau perawat manula . Tapi sayangnya aku bukan seperti mereka yang beristirahat hanya duduk menonton sinetron televisi atau berbalas SMS dengan pacar dan teman mereka. Saat istirahatku aku isi dengan berpikir keras menemukan jalan keluar hidupku.
***
Sebagai mantan narapidana, sulit bagiku mencari kerja. Kecuali di luar kota. Dimana orang tak tahu latar belakangku. Ini pilihan yang sulit yang diambil, sebab karir Nawang sebagai marketing di dunia perbankan justru saat ini mulai menanjak. Ia tak mau keluarga kami pindah ke luar kota. Karena itu artinya mengorbankan karirnya demi karirku yang belum pasti. Pilihan yang logis walau seharusnya seorang istri mendukung karir suaminya.
Persoalan semakin rumit, karena kini kami tinggal di rumah mertuaku. Sebuah rumah dengan begitu banyak persoalan yang menumpuk. Persoalan bukan saja karena aku dan istriku harus menanggung Navis, adik istriku yang masih sekolah dan mertua lelakiku yang sakit parkinson parah. Penyakit yang belum jelas ditemukan penyebabnya apalagi obatnya.
Persoalan yang selalu muncul di rumah ini karena ada banyak perselisihan tak hanya diantara mertuaku, istri, adik dan kakaknya. Tapi perselisihan besar diantara keluarga besar mertuaku laki-laki dan keluarga besar almarhum mertuaku perempuan. Perselisihan yang sudah terjadi berpuluh tahun tanpa pernah ada yang mau mendamaikannya. Dan perselisihan ini tak bisa aku diabaikan karena kedua keluarga besar ini selama ini ikut menopang hidup mertuaku yang sakit dan adik iparku yang masih sekolah. Karena aku kini tinggal di rumah mertuaku.
***
Sebelumnya mertuaku tinggal di rumah peninggalan orang tuanya di kota Lamongan. Sebuah kota kecil di Jawa Timur. Disana dia dirawat adiknya Bulik Yayuk. Sebab sebagai mantan Direktur sebuah perusahaan asing yang jatuh bangkrut, mertuaku mengalami post power syndrome. Dia merasa gengsi untuk tinggal bersama kami di rumahku. Sedangkan, ibu dari istriku telah lama tiada sejak melahirkan Navis, adik perempuan istriku.
Sejak aku terjerat kasus hukum, istriku memilih tinggal di rumah orang tuanya yang kosong. Mertuaku pun ikut kembali ke rumah itu untuk menemani istriku. Demikian pula Navis, yang sejak kecil dirawat nenek dan Tante Indah. Saudara dari pihak ibu istriku. Kini semua anggota dari keluarga istriku kembali berkumpul di rumah kuno yang tak terawat ini. Kecuali Nanang, kakak lelaki dari istriku yang merantau entah kemana usai meraih gelar sarjana tehnik. Dia pun tak pulang saat kami menikah. Walau istriku menyimpan nomor handphone Nanang tapi ia nyaris tak pernah berkomunikasi dengan kakaknya, kecuali lewat SMS.
“ Mengirim nomor rekening. “ ujar istriku dengan wajah kesal sebab itu satu-satunya cara sebagai pengingat jika Nanang masih memiliki ayah yang sakit dan Navis, adik perempuannya yang membutuh biaya.
“ Itu pun belum pasti Nanang mau mengirim uang, “ tambah istriku yang lelah bertengkar dengan kakaknya.
Penyakit parkinson yang diderita mertuaku membuatnya hidup bergantung pada obat dan supplemen syaraf. Tak hanya itu, parkinson juga telah membuat sayaraf motoriknya terganggu. Jangankan beraktivitas, bangun dari tempat tidurpun dia kesulitan. Sehingga perlu orang lain yang merawatnya.
Sedangkan Navis, adik istriku kini harus melanjutkan sekolah ke SMU. Dengan nilai pas-pasan, ia hanya bisa bersekolah di SMA swasta. Nenek dan Tante Indah yang merawatnya sudah angkat tangan. Ini karena Tante Indah saat ini tak lagi bekerja usai di PHK dari tempat ia bekerja. Perusahaan BUMN tempat suami tante Indah bekerja pun diberitakan sedang mengalami kesulitan keuangan. Jadi mereka menyerahkan Navis pada kami.
Nanang bukannya tak mau memberikan solusi. Dia minta agar rumah ini dijual. Uangnya dipakai untuk biaya hidup ayahnya di panti jompo dan biaya sekolah Navis. Usul yang pasti ditolak mentah-mentah oleh mertuaku dan istriku.
Kini setelah semua berkumpul di rumah ini, seluruh mata tertuju padaku, sebagai satu-satunya lelaki dewasa yang sehat, walau kondisiku babak belur usai terjerat hukum.
Aku coba menawarkan solusi kepada istri dan mertuaku. Menjual rumah ini dan rumahku. Membeli rumah baru di tepi jalan raya walau jauh di pinggir kota. Dengan demikian ada sisa uang disimpan untuk biaya sekolah Navis. Nawang, istriku pun bisa tetap berkarir seperti cita-citanya. Dan aku bisa membuka toko di rumah sambil merawat mertuaku dan mengawasi pembantu dalam mengasuh Nayla, putriku yang masih bayi. Sebab keuangan kami sulit untuk membayar baby sitter dan perawat manula. Jika bisnisku berjalan, aku berencana memperkerjakan dua pembantu rumah tangga agar pekerjaan menjadi ringan tapi tidak mahal.
Tapi tak kusangka, mertua dan istriku langsung menolak tawaranku.
Dengan ringan mertuaku berucap, “ Aku kasihan dengan Nanang. Pasti dia akan enggan pulang menengokku jika rumah ini dijual. “
Ucapan yang tak bisa masuk dalam otakku, sebab jangankan untuk pulang, menelpon ayahnya yang sakit keras pun nyaris tak pernah dilakukan oleh Nanang.
Tapi ternyata bukan cuma itu saja alasan penolakan mertuaku. Seolah bagai Direktur yang menasehati anak buahnya, mertuaku berkata, “ Kalau kita beli rumah yang jauh dari kota. Ini sebuah kemunduran. Seharusnya kita beli rumah di pinggir jalan raya yang semakin dekat dengan kota. “
Dengan kesal, aku menjawab, “ Uangnya dari mana ? Rumah seperti itu harganya puluhan milyaran rupiah. Mobil dan tabunganku sudah ludes. Mau kredit ? Aku ini pengangguran ! “
“ Kalau begitu carilah pekerjaan dulu, “ jawab mertuaku tanpa nada bersalah.
“ Aku sulit cari pekerjaan disini !, “ ucapku kesal. Aku pun langsung pergi naik ke lantai dua menemani putriku untuk menghilangkan kekesalanku.
Setelah kesal dengan mertuaku, harapan untuk mendapat dukungan dari istriku pun sirna.
“ Rumahmu dijual. Uangnya untuk membeli mobil yang bagus. Sisanya untuk modal usahamu, “ ucapnya bernada ketus sebab kini aku mengantarnya bekerja menaiki sepeda motor. Rekan-rekan kerjanya mulai bergunjing bahkan mengolok.
“ Waktu pacaran diantar jemput mobil baru, keren. Sekarang sudah menikah punya anak kok jadi naik sepeda motor. “ ucap istriku lirih dan bernada pedih mengutip olokan rekan kerjanya.
Aku sedih mendengarnya. Aku mencoba memberinya pengertian untuk bersabar.
“ Kurang sabar apa aku. Aku hamil anak pertama, kamu dipenjara. Sekarang kamu menganggur. Tak punya tabungan. Aku harus bekerja menghidupi keluarga kita, ayahku dan adikku. Sudah lama aku hidup susah. Sekarang aku sudah bekerja dan menikah masih saja diajak susah.
“ Kamu tahu, laki-laki yang sial adalah laki-laki yang salah pilih pekerjaan. Wanita yang sial adalah wanita yang salah pilih suami.,” tambah istriku dengan nada keras.
Harga dirikupun langsung jatuh mendengarnya. Amarahku pun langsung naik
“ Jadi kamu merasa sial karena punya suami aku. Hidupmu sekarang lebih baik dari pada sebelum nikah. Dulu kamu bekerja naik sepeda motor sendiri. Tinggal seorang diri di rumah ini yang bobrok. Ayahmu harus mengungsi ke rumah Saudara karena kamu tak sanggup merawat. Adikmu juga harus tinggal di rumah nenekmu karena kamu sanggup membiayai. Yang wajar mengeluh justru aku. Dulu aku punya rumah, mobil, tabungan dan pekerjaan. Sekarang hidupku susah“
“ Iya hidupku kini lebih baik tapi itu karena aku bekerja . Kalau aku tidak bekerja, kamu, anakmu, Papa dan Navis mau makan apa. Kita bisa hidup sekarang karena aku masih berkerja. “
“ Siapa yang suruh kamu kerja. Aku sudah ajak kamu merantau ke kota lain agar aku bisa cari kerja. “
“ Lalu selama kamu cari kerja. Kita jadi gelandangan ! “