“ Kamu terlalu pintar untuk hanya berjualan makanan secara keliling, “ ucap Nawang melihat kegagalan usahaku. “ Mana ada orang yang kuliah mendapat bea siswa lalu lulus dengan nilai memuaskan dan menjadi manager investasi dengan gaji tinggi lantas bisa sukses berjualan makanan keliling, Secara mental pasti tidak siap. Tidak cocok dengan latar belakangmu. “.
“ Untungnya makanan itu masih bisa disimpan dan dimakan, “ kataku untuk menutupi kerugian yang aku derita.
“ Jangan begitu kita butuh penghasilan tambahan selain penghasilanku. Kamu harus segera cari pekerjaan lain. Pekerjaan yang cocok untukmu. “
“ Aku sedang memikirkannya”.
“ Jangan hanya memikirkan. Lakukan sesuatu. Lakukan sekarang. Waktu yang terbaik adalah sekarang.”
“ Aku harus memikirkan langkahku. Aku tak mau rugi lagi. “
“ Berpikir. Berpikir. Akhirnya terlambat begerak. Padahal kebutuhan hidup terus berdatangan, “ kata Nawang dengan tegas.
“ Aku terbiasa bekerja dengan pikiranku, “ ujarku sambil bersungut kesal.
***
Ingin berpikir dengan tenang membawaku ke rumah milikku yang terlantar lebih dari satu tahun. Rumput-rumput tumbuh meninggi dihalaman. Aku tak bisa menahan kesedihanku ketika melihat di pojok kamar tidurku ditumbuhi lumut. Ternyata karena kamar ini bocor. Bau kayu basah dari tempat tidur dan almari yang terkena air hujan tak hanya menyesaki ruangan ini. Tapi juga menyesaki pikiranku. Saat lampu menyala, aku semakin sedih melihat sebagian perabot rumahku lapuk. Padahal badanku lelah karena berkendara sepeda motor dari ujung barat Surabaya, tempat aku tinggal, hingga ke ujung Timur Surabaya, tempat lokasi rumah ini. Belum panas dan debu yang menyergapku karena banyak proyek apartemen dibangun sepanjang jalan. Maka kuhempaskan badan ke ranjang lama ku yang berdebu.
“ Aku harus jual rumah ini. Membangun kehidupan baru dengan uang hasil penjualan rumah ini. “
Hanya itu solusi yang aku dapatkan. Otakku tak mampu berpikir lagi.
***
Tulisan “ Rumah Dijual” berikut nomor telponku telah terpampang di rumah milikku. Satu per satu telepon masuk namun mereka hanya sekedar ingin tahu. Tak ada yang serius. Justru jantungku sempat berpacu kencang saat ada yang bertanya, apakah rumah itu dalam sengketa dan disita aparat hukum. Bayang-bayang kasus hukum yang pernah menjeratku dan sejumlah orang yang coba datang untuk meneror rumahku membuatku was-was.
Apakah mereka kembali mau menerorku ?
“ Kalau mereka mau menerormu lagi, untuk apa ? Apa yang mereka bisa dapat darimu. Kamu sudah dihukum. Karirmu sudah habis. Bahkan juga hartamu, “ ujar Nawang,
“ Mereka ingin balas dendam. Karena investasinya rugi besar karena aku, “ kataku.
“ Tidak usah mengira-kira. Mereka tahu kamu hanya kambing hitam. Makanya tak dapat apa-apa. Yang tetap kaya raya hingga kini Bos lamamu, “ balas Nawang dengan kesal,
“ Cepat jual rumahmu. Kita harus bisa membeli mobil lagi. Memperbaiki rumah ini. Banyak yang bisa kita lakukan jika rumah itu terjual”.
“ Rumah ini bukan milik kita untuk apa diperbaiki. Aku butuh modal untuk usaha. Beli mobil aku setuju. Tapi mungkin mobil bekas saja. “ jelasku.
Raut wajah kecewa tampak melekat di wajah istriku sebab dulu aku memiliki mobil baru CBU yang jarang dimiliki orang lain.
***
Kekecewaan istriku semakin menjadi karena rumahku tak kunjung laku. Padahal aku memasang iklan berkali-kali di sejumlah media hingga lelah. Padahal uang hasil penjualan rumah sangat aku butuhkan. Sebab kebutuhan hidup terus saja ada. Pertengkaran dengan istriku kembali terjadi.
“ Sudah jual saja rumah itu seratus lima puluh juta. Yang penting kita bisa beli mobil. Tak apalah bekas “, seru Nawang menurunkan harapannya sebab ia kesal teman-temannya mengoloknya karena kini naik sepeda motor.
“ Apa seratus lima puluh juta juta. Rumah itu bernilai enam ratus juta. Paling tidak lima ratus juta. Yang kita butuhkan bukan hanya mobil. “
Tapi penjelasanku tak mampu membungkam mulut Nawang, Pertengkaran terus terjadi. Kalimat-kalimat menjengkelkan keluar dari mulut Nawang dengan deras. Sederas hujan senja ini. Hujan yang telah membasah kuyupkan badan kami sepanjang perjalanan pulang menjemput Nawang dari kantor. Tak hanya itu sepeda motor kami sempat mogok karena aku menerjang banjir. Hingga kami harus berjalan kaki hampir 1 km hingga menemukan bengkel yang buka.
Nawang sudah mencegahku. Ia menyarankan aku menuntun sepeda motor dan kami berjalan kaki. Tapi pikiranku diliputi rasa was-was tentang rumah tua yang rapuh yang kini kami tinggali. Rumah yang kini menaungi Papa dan Nayla, putri kami. Belum lagi jika lampu mati.
Dalam badan yang lelah aku hanya bisa diam mendengar kemarahan Nawang. Kini aku bukan lagi kepala rumah tangga. Tapi aku bagai anak bodoh yang dimarahi ibunya. Rasa kantuklah yang menghentikan kemarahan Nawang.
Walau rasa kantuk ingin menidurkanku. Tapi otakku tak jua tertidur. Hingga pikiranku buntu. Kala mentari mulai berajak meninggi, aku langsung menuju agen iklan surat khabar dan memasang iklan penjualan rumahku seharga seratus lima puluh juta. Aku lantas mengirim SMS pada Nawang apa yang aku lakukan.