“Jika hidup hanya untuk dinikmati, kita akan susah bersyukur ketika hidup tak terasa nikmat lagi “
Senyum lebar tergambar dari wajah Nawang yang tampak cerah. Tak pernah Nawang secerah ini, sejak aku dipenjara. Ini karena lembaran akte hibah berwarna coklat yang digenggam Nawang. Papa, Nanang dan Navis sudah menandatanganinya karena rencana yang kususun berjalan mulus. Aku memakai akal bulusku untuk membuat Nanang dan Navis mau menandatanganinya.
Untuk menaklukkan Nanang, aku mendatangkan Bulik Yayuk dari Lamongan. Sebab Nanang tak cukup punya muka untuk memandang Bulik Yayuk yang kerap dia bohongi soal kiriman uang untuk baya hidup Papa. Nanang sang jago karate yang bertubuh tinggi besar, hanya bisa diam tak berkutik saat Tante Yayuk memintanya menadatangi akte hibah. Tentu saja dengan kompensasi uang yang aku putuskan sendiri. Walau demi hal ini aku harus merelakan Tante Yayuk mengambil satu set mixer milikku dengan alasan Nawang masih memiliki mixer warisan orang tuanya. Padahal mixer warisan itu sudah tak berfungsi lagi karena dimakan usia. Tapi tak apalah, ini demi Nawang. Kami bisa membeli mixer lagi.
Untuk membujuk Navis, maka Aku mengajak Papa menemui Yang Ti dan Tante Endah untuk membicarakan masa depan Navis. Awalnya Papa menolak ikut serta.
“ Aku percaya kamu bisa menyelesaikan masalah ini dengan mereka, “ ucap Papa tanpa rasa bersalah. Seolah masalah ini adalah milikku seorang. Seolah Navis adalah anakku.
“ Navis kan anak Papa, “ ujarku penuh keheranan.
“ Aku tak pernah menyuruh Mereka merawat Navis. Itu keinginan mereka sendiri. Dari awal banyak saudaraku yang ingin merawat Navis. “
“ Lalu bagaimana tanggung jawab Papa sebagai ayah kandung ? “
Papa terdiam sejenak. Lalu dia mengeluh tentang badannya yang kurang enaak. Nawang yang sudah paham jurus Papa langsung berucap keras, “ Jika Papa tak mau ikut lebih baik rencana ini tak perlu diteruskan. Kita tak perlu merawat Papa. Kita tinggal dia disini seorang diri. “
Papa akhirnya bersedia ikut. Nawang sendiri menolak ikut karena masih ada dendam karena perlakuan kasar Tante Endah dimasa lalu kala ia meminta bantuan.
***
Sebagai orang yang pernah berkecimpung dibidang dunia investasi pasar saham, aku terbiasa menganalisa, memprediksi dan memahami psikologi pasar lalu mengantisipasinya. Maka aku pun sudah memprediksi apa yang terjadi saat aku dan Papa bertemu Yang Ti dan Tante Endah. Seperti yang kuduga mereka mengeluhkan susahnya merawat Navis yang tak kunjung berpikiran dewasa. Seperti yang kuduga mereka akan meminta banyak hal untuk Navis. Dan seperti yang aku duga Papa hanya sibuk mengeluhkan penyakit parkinson yang terus menggerogoti syarafnya. Tapi sebagaimana pasar keuangan, terkadang ada hal tak bisa kita duga muncul. Papa menambah keluhannya tentang kakinya yang sakit hingga mengaku sulit berjalan. Aku sempat terhenyak, karena rasanya Papa tak pernah sakit itu. Ternyata jurus mengelak Papa sudah bertambah. Tak hanya jurus sakit parkinson yang dipakai untuk mengalihkan pembicaraan yang serius.
Walau demikian aku hanya mengagguk-anguk kala Tante Endah menegurku karena tak mengobati kaki Papa yang sakit.
“ Bawa ke dokter Papamu. Kasihan dia. Anggap saja dia orang tuamu sendiri, “ kata Tante Endah. Padahal aku telah berbakti pada Papa melebihi rasa bhaktiku pada orang tuaku. Walau dongkol, sekali lagi aku mengangguk dan mengiyakan. Sebab aku orang Jawa yang berfalsafah “ Enggih…enggih mboten kepanggih “.
Sesekali aku melirik Papa.
“ Tungu saja Pa, nanti dirumah kita buat perhitungan. Aku bukan Nanang atau Nawang yang hanya marah teriak-teriak. Aku langsung action.”
Maka setelah semua basa basi usai, aku langsung menjelaskan rencanaku untuk mengirimi Navis uang rutin bulanan. Mendengar itu mata mereka berbinar-binar.