Seorang komedian di TV pernah mengeluarkan joke yang menohok diriku. Sang komedian itu bercerita jika saat menjadi sales mobil, dia tak bisa menjual mobil satu pun dalam tiga bulan.
“ Setelah saya dipecat, dalam satu bulan saya justru bisa menjual HP, laptop bahkan motor saya, “ kelakarnya ditengah derai tawa penonton.
Joke itu benar-benar menggambarkan diriku, Setelah kehabisan modal dalam bisnis ditribusi makanan, aku beralih menjadi agen asuransi. Tapi berbulan-bulan aku tak bisa menjual satupun. Aku pun diberhentikan. Kini aku sukses berjualan barang-barang bekas dirumahku. “Kesuksesan” ini diawali dengan menjual sisa material seperti kayu dan besi. Potongan kayu yang tak beraturan dan menumpuk dihalaman itu aku foto dan aku up load dalam, situs jual beli on line. Dalam hitungan jam, telepon dan SMS masuk. Dalam waktu dua hari kayu yang sebagian dimakan rayap terjual. Si pembeli membutuhkan kayu itu untuk menyambung kayu-kayu penyangga pengecoran jadi tak perlu kayu yang bagus.
Selanjutnya aku menjual sisa kayu di gudang. Lagi-lagi terjual. Sisa besi aku jual ke tukang rongsokan. Bisnisku “melebar” ke jual beli kebutuhan bayi. Sebab ada barang-barang bekas milik Nayla dan Naro yang tak terpakai. Tak kusangka komunitas di bisnis banyak. Barang-barang bekas Nayla dan Naro bisa terjual dengan harga yang lumayan. Termasuk tempat tidur bayi yang sudah rusak dam kotor. Bisnis barang bekas selanjutnya adalah bisnis barang elektronik. Tatapanku mengarah pada barang elektronik bekas milik mertuaku yang sudah uzur dan tak terpakai. Tapi Papa langsung menolak keras. Dia lantas ceritakan bagaimana kisah barang-barang itu telah mengangkat martabatnya ke angkasa.
“ Aku orang pertama yang memiliki pemutar video di komplek ini. Kala itu orang-orang berduyun-duyun datang ke rumah ini. Menonton bersama film silat. Untung aku punya sound system yang bagus. Jadi mereka semua bisa menikmati dengan puas, “ ujarnya dengan bangga. Intonasi kata Papa terdengar kuat saat menceritakan kesuksesannya. Menatapku berbinarbinar. Berharap aku terpukau. Dan aku bukan saja terpukau tapi juga miris. Bagaimana bisa seorang anak yatim dari desa terpencil bisa sukses seperti ini. Pemutar video dan sound system milik Papa, saat aku SD dulu hanya dimiliki orang-orang kaya di kotaku. Belum juga mobil-mobil Papa kala itu. Kala orang memiliki sepeda motor saja dianggap sebuah kebanggaan. Bahkan Papa dulu punya pistol yang sarungnya masih tersimpan hingga kini. Dan saksi kesuksesan Papa yang tersisa adalah rumah dua lantai bermotif kayu ini. Sebab di tahun 80 an, hanya orang sukses yang mampu membangun rumah bertingkat. Tapi kini kondisi Papa begitu menyedihkan. Tubuh Papa tak hanya kurus. Wajahnya tinggal tengkorak diselimuti kulit. Badannya bungkuk. Bahkan tulang belakangnya nyaris menonjol di tengah mirip huruf L. Tapi yang lebih membuatku miris karena di usia Papa yang sudah lanjut dia masih menyimpan bangga koleksi video porno bahkan buku-buku stensilan karya Enny Arrow, seorang penulis terkenal misterius yang menulis kisah-kisah porno yang jorok. Anak-anak muda di tahun 80 hingga 90 an nyaris semuanya mengenal penulis ini walau aku tahu untuk menyewa buku ini saja sulit setengah mati. Apalagi memilikinya. Karena tak ada toko foto copy yang berani memfoto copy buku ini. Buku ini dilarang beredar di masyarakat. Karena merusak mental masyarakat.
***
Kecintaan Papa terhadap barang-barang lamanya di masa kejayaannya memang luar biasa. Bahkan melebihi cinta pada anak kandungnya. Ini terbukti ketika Navis berkunjung ingin minta bantuan uang untuk biaya perpisahan SMA. Nawang saat itu menolak karena beralasan tak punya uang. Aku lantas minta Papa menjual video dan sound systemnya untuk diberikan pada Navis. Papa langsung menolak.
“ Bukankah Navis tanggug jawabmu dan Nawang, “ kata Papa dengan ringannya.
“ Pa, dulu Papa katakan Navis tanggung jawab Tante Indah. Sekarang Papa katakan tanggung jawabku dan Nawang karena rumah ini Papa hibahkan ke kami.Kapan Navis menjadi tanggung jawab Papa ? “
“ Aku sudah bertanggung jawab. Aku beri Navis bagian dari penjualan rumah ini. Tapi kamu tak pernah beri Navis uang bagiannya. “
Aku dengan bersungut lantas ke kamar. Membongkar laci. Mencari buku tabungan bukti aku transfer uang ke Navis. Aku rekap. Lantas aku sodorkan ke Papa. Jika Papa bukan lelaki tua yang tak berdaya pasti sudah kutonjok.
“ Itu belum termasuk uang yang dikirim Nawang. Masih kurang memang, tapi aku akn berusaha memenuhinya. Kecuali Papa mau mengalah tak minum obat dulu. Sekarang bagaimana biaya kuliah Navis kelak setelah selesai SMA. Tante Indah angkat tangan. Nawang juga. Kalaupun bisa ku penuhi sisanya bagian Navis tak mungkin cukup untuk biaya kuliah .“