Pilihan Peran

Heri Prabowo
Chapter #9

Delapan

Pertengkaran aku dan Nawang yang tak kunjung usai membuat Papa mengambil langkah diluar dugaanku. Dia menelpon Om Dji, adik kandungnya, agar sudi merawatnya. Alasannya aku dan istriku sedang kesulitan keuangan. Om Dji langsung menelpon Nawang. Dan Nawang langsung marah pada Papa. Dan aku sebagai kepala rumah tangga ikut jengah.

“ Mengapa Papa bicara seperti itu ? Itu mempermalukanku, “ucapku dengan kesal dan keras.

 “ Walau itu terdengar memalukan tapi maksudku baik. Aku tak mau merepotkanmu lagi, “ ucapnya dengan pelan sambil tersenyum. Seolah dia orang tua yang bijaksana dalam mengambil keputusan.

“ Walau kondisiku sulit, aku selalu berusaha menebus obat Papa. Walau uangku hanya pas-pasan. Walau Nawang tak mau memberiku uang,” ucapku sangat kecewa.

“ Tak usah malu. Dulu aku yang biayai sekolah Om Dji, “ ujar mertuaku bangga.

“ Sekarang Om Dji sudah kaya. “

“ Jadi Papa ingin Om Dji balas budi ? Papa ingin hidup enak ? “ tanyaku dengan nada meninggi.

“Kalau aku ingin hidup enak wajar saja. Tapi siapa yang minta balas budi ? “

“ Tadi Papa bicara itu. “

“ Ngawur. Kapan aku bicara seperti itu ? “ nada suaranya mulai meninggi. Matanya menatapku tajam.

“ Demi Tuhan ayah tak bicara ? “ tanyaku menantang.

“ Demi Tuhan ! “ jawabnya mantap. Sebab Papa memang tak mengucapkannya secara lugas tapi tersirat. Dan bagi orang berlatar belakang hukum seperti Papa, tersirat itu itu bisa multi tafsir. Bisa abu-abu,

Aku tersenyum sinis. “ Papa memang tidak bicara seperti itu. Tapi maksud Papa sudah jelas ingin Om Dji membalas budi. Aku saja tahu, apalagi Tuhan. “

“ Dengan Tuhan saja, ayah tak takut. Ayah hanya takut jika tak minum obat kan ? “ tambahku

Wajah mertuaku tampak mulai galau. Sejak parkinson menyerang otaknya, hidup mertuaku bergantung pada obat.

***

Tanpa diduga Om Dji datang bersama Bulik Yayuk yang pernah merawatnya.

“ Mas No, ingin tinggal denganku ? Ayo ! Aku jamin Mas akan sembuh,” ucap Om Dji dengan pongah pada mertuaku yang biasa dia panggil Mas No.

Sembuh ? Secara medis hanya mukjizat yang bisa sembuhkannya, “ gerutuku dalam hati.

Tapi kekesalanku semakin bertambah kala, Om Dji bercerita, “ Mas No dulu hampir sembuh saat aku rawat. Tapi Tante Indah tiba-tiba datang. Menjemput Mas No. Dikiranya Mas No, akan dapat pesangon dari perusahaan. Agar bisa dibagi untuk ganti biaya sekolah Navis. Ternyata setelah tahu pesangon itu tak ada, Mas No langsung dikembalikan ke rumahnya. Ha...ha. “

“ Ya seperti itu keluarga dari pihak almarhum istri Papamu. Tak pernah ikhlas bantu saudara. Pikirannya dapat untung. Dapat uang. Ha...ha, “ tambah Om Dji dengan riang karena mampu menjelek-jelekkan keluarga ibu dari istriku yang selama ini dia benci. Om Dji lantas bercerita tentang kesuksesannya. Mertuaku tak henti-hentinya memuji. Dia semakin gembira ketika, Om Dji mengangguk-angguk saat sejumlah petuah terlontar dari mulut mertuaku. Mataku menatap mereka bagai sekumpulan bebek yang berkumpul lantas berucap tanpa arti. Sebab bagiku tak ada sesuatu apapapun yang bisa dipelajari dari orang gagal seperti mertuaku dan orang sukses tapi bicara omong kosong seperti Om Dji. Suara mereka terdengar riuh. Wek..wek.wekkk

Sebagaimana bebek yang butuh air, maka istriku pun beranjak pergi ke dapur untuk membuatkan minuman, tanpa kuduga Om Dji berkata, “ Papa sakit seperti ini karena istrinya dulu jahat. “

Bulik Yayuk mangut-mangut mengiyakan dengan muka sumringah. Seolah menandakan dendam pada almarhum terbalaskan.

Walau ucapan itu mengingatanku pada kepada permusuhan dua keluarga yang pernah diceritakan istriku tapi ucapan ini tetap membuatku terkejut. Sebab terucap di depan mertuaku. Mataku menatap wajah mertuaku yang tampak tenang tanpa ekspresi. Seolah ini hal biasa yang sering dia dengar.

Bagaimana mungkin seorang lelaki duduk terdiam mendengar almarhum istrinya dihina ? Bagaimana keluarga ini bisa dihormati jika orang lain bisa seenaknya berbicara di rumah ini ?

Muak dengan para bebek tua ini, maka ketrika istriku menyajikan minum, aku memilih menjauh. Tapi tanpa aku sangka Om Dji justru datang menghampiriku. Dengan setengah berbisik, Om Dji menasehatiku agar sabar merawat kakaknya.

 “ Anggap saja mertuamu seperti orang tuamu sendiri. “

Nasihat yang membuatku ingin muntah. Sebab ketika ayahku sakit, aku tak bisa pulang menengoknya karena tak ada yang menggantikan aku merawat mertuaku. 

“ Semoga membawa berkah, “ tambah Om Dji seperti orang tua yang bijak.

Ambil saja berkah itu untuk Om, “ umpatku dalam hati.

Setelah menasehatiku Om Dji lantas kembali sibuk bercengkarama dengan istri dan mertuaku. Mereka saling membanggakan pekerjaan mereka. Mertuaku yang dulunya pernah sukses iku menimpali. Aku yang semakin kesal memilih mengajak anakku bermain. Tak kusangka giliran Bulik Yayuk mendekatiku.

“ Kalau Papamu ikut Om Dji, siapa yang merawat ? “

Aku diam memendam kekesalan.

“ Om Dji sampai mengeluh. Katanya kok tega menitipkan mertua kepadaku. Terus nanti siapa yang memandikan dan membersihkan pispot Mas No. Istriku ? “ ucap Bulik Yayuk dengan lirih.

“ Mertuamu dulu banyak membantu orang. Tapi sayang banyak orang yang melupakannya. Kasihan dia. Rawatlah dia baik-baik, “ tambahnya.

Kepala hampir pecah mendengarnya.

Siapa yang ingin menitipkan mertuaku ke Om Dji ! Siapa yang berkoar sanggup merawat mertuaku hingga bisa sembuh. Om Dji sendiri yang bicara. Kalau memang dia kaya, mengapa tak rawat papaku dengan menyewa perawat manula. Mereka semua orang tua. Tapi sudah gila semua. Mereka sebenarnya tahu siapa yang pantas dinasehati. Tahu siapa !. Sebab mereka mengenal betul karakter mertuaku dan istriku.

Ternyata kegilaan para bebek tua ini semakin menjadi ketika Om Dji pamit pulang. Sambil mememberikan beberapa lembar uang lima puluh ribuan pada kakaknya, dia berujar, “ Ayo Mas No kalau mau iku aku ! “

Mertuaku pun langsung tersenyum cerah.

“ Tidak usah Om Dji. Papa nanti aku rawat dengan baik kok, “ kataku menimpali dengan nada sopan walau nafasku tak beraturan menahan emosiku yang akan meledak.

“ Jadi sudah bereskan Mas No. Ini karena aku sudah nasehati menatuku, “ ucap Om Dji sambil tersenyum lebar penuh kebanggaan.

Aku tak mampu lagi menahan muntah ketika melihat deretan gigi Om Dji yang walau tampak putih dan terawat.

Sejak kejadian itu, jika aku atau istriku bertengkar dengan Papa maka mertuaku akan berkoar, “ Sudah ! Aku ingin ikut Om Dji saja. “

“ Om Dji hanya basa-basi. Bulik Yayuk cerita kalau Om Dji tak mau merawat Papa,” ucapku dengan sinis.

“ Tidak mungkin, aku kenal siapa adikkku. Kamu tahu apa tentang Om Dji !”

Tanganku gatal, ingin memplester mulutnya yang besar.. Keinginan itu semakin besar ketika aku tahu dari istriku jika Om Dji hanya pernah merawat Papa selama dua minggu saja.

***

Sayangnya aku tak jua merelasikan rencanaku memplester mulut Papa. Hingga mulut ini semakin besar karena kedatangan Nanang, istri dan anaknya.

Seperti halnya ayahnya, mulut Nanang pun besar. Bercerita tentang proyek-proyek besar eksplorasi minyak di luar negeri yang menjadi tanggung jawabnya.

“ Aku kemana-mana harus membawa paspor. Sebab kadang-kadang, bosku terlepon mendadak. Katanya, Nang, besok kamu harus ke Australia. Minggu depannya lagi, aku ditugaskan ke Dubai. Pokoknya jalan terus. Seperti Om Dji. Aku juga sering telpon dia. Kita kan senasib. Sama-sama bekerja di bidang kontruksi. Jauh dari keluarga, “ ucapnya tanpa jeda seolah burung yang pandai berkicau. Kicauannya semakin nyaring ketika Nanang bercerita tentang sejaumlah property yang mampu dia beli. Tak hanya rumah, ruko tapi juga berhektar-hektar kebun.

“ Tapi aku tetap sisihkan uang untuk untuk membayar zakat, membangun masjid. Tahun ini saja aku berqurban dua ekor sapi. Pokoknya kita harus banyak beramal. Iya kan Pa, “ cerocosnya tanpa henti.

Istrinya pun tak mau kalah, “ Ayah dan ibuku dari keluarga yang taat beribadah. Sebab itu kapan hari mereka minta aku merenovasi masjid di kampung. Habisnya lumayan Pa. Tapi mau bagimana lagi ini bukan sekedar membahagiakan orang tua tapi juga tabungan kita di akhirat nanti. “

Ya..Tuhan mengapa aku ditakdirkan memiliki saudara-saudara yang sinting seperti Nanang dan istrinya. Sebab selama di rumah ini belum pernah aku melihat Nanang dan istrinya menjalankan sholat. 

Seolah mendengar suara batinku yang tak mempercayai seluruh ucapannya, Nanang pun mempertontonkan slip gajinya. Menunjukan jika dia kini benar-benar kaya raya.

Mata mertuaku pun terhenyak melihat angka nyaris seratus juga. Itu gaji Nanang per bulan.

“ Belum termasuk bonus Pa, “ ujarnya dengan nada yang naik agar aku dan istriku kagum. Sebab muka kami tampak begitu jengah.

Tangan mertuaku yang biasanya gemetaran, langsung sigap meraih slip gaji itu Digenggamnya erat-erat, seolah itu surat berharga.

Mertuaku yang dulu juga pernah bekerja di pembangunan sejumlah proyek pembangunan bendungan raksasa era orde baru, terlihat bahagia mendengar anaknya kini berhasil sukses melebihi dirinya. Sebab dialah yang membesarkan Nanang seorang diri.

Dari sorot matanya, aku yakin Papa sudah membayangkan jika hidupnya akan nikmat dan berfoya-foya seperti masa kejayaannya dulu sebab Nanang berjanji mengirim rutin uang keapada Papanya melalui rekeningku.

Mendengar itu, sontak wajahku pun gembira Papa sebab aku membayangkan betapa kecewanya nanti Papa setelah apa yang diucapkan Nanang hanya omong kosong semata. Sebab aku yakin walau sudah sukses Nanang tak akan peduli pada ayahnya. Sebab Nanang tak meminta nomor rekeningku atau rekening Nawang sama sekali. Bagimana dia kirim uang ?

Aku pun tertawa dalam hati karena melihat wajah istriku yang sangat kesal. Menertawakan keputusan istriku untuk tetap tinggal disini ternyata salah. Sedangkan Nanang yang pergi dari rumah ini ternyata sukses. Seharusnya istriku dengar apa kataku. Patuh pada suaminya. Bukan merasa hebat. 

Maka setelah Nanang pulang, aku pun langsung mengolok istriku, “ Hebat kakakmu, masih muda tapi sudah kaya raya. Padahal dia tidak berbakti pada orang tunya. Harusnya kamu yang sukses karena sudah berbakti pada Papamu.  Mungkin seharusnya kamu berbaktui pada suami agar bisa sukses.“

Istriku hanya mendengus dan pergi ke kamar tidur.

Tak puas mengolok istriku, aku pun ganti mengolok mertuaku.

 “ Apa mungkin beli obat memakai slip gaji. Ha...ha “

“ Kamu iri dengan anakku. Contohlah dia jika ingin sukses, “ balas mertuaku dengan bersungut.

“ Anak durhaka jadi contoh. Berapa tahun Nanang, telantarkan ayah. Datang hanya beri uang satu juta saja, “ ucapku dengan mulut nyinyir.

Wajah mertuaku tampak dongkol.

Tapi setelah seminggu justru giliran aku yang dongkol karena mertuaku menagih uang kiriman Nanang padaku..

“ Tak ada, “ jawabku ketus.

“ Nanang pasti kirim. Dia sudah kaya. Gajinya lebih dari 80 juta per bulan. “

“ Ayahnya pembohong. Anaknya juga pembohong. Mana bisa Nanang kirim uang. Dia tak tahu nomor rekeningku. Aku yakin itu slip gajinya palsu.“

“ Cek dulu di rekeningmu baru bicara. Jangan asal tuduh.“

“ Buat apa !”

 “ Pokoknya uang itu ada di rekeningmu. “

“ Jadi, Papa menuduhku berbohong! “

Aku tarik tangan mertuaku. Kuseret dia ke kamar tidur.

Lihat selengkapnya