Seperti hujan di bulan ini, Nanang datang. Mengagetkan walau dia sudah telepon sebelumnya. Aku tak mengharapkan kedatangannya walau hampir seluruh tetangga menanyakannya. Seperti hujan yang diiringi petir menggelegar hingga membuat kita cemas. Kedatangannya membangkitkan rasa was-was. Pertengkaran besar dia dengan istriku bisa meledak kapan saja. Seperti hujan yang turun tanpa permisi. Nanang pun masuk rumahku tanpa sepatah salam. Seolah ini masih rumahnya di masa lalu.
Kakak iparku akhirnya datang tepat tujuh hari kematian ayahnya. Orang tua satu-satunya yang tersisa. Tak ada raut muka sedih di wajahnya. Tak ada kata penyesalan dari mulutnya. Walau telah menelantarkan ayahnya yang sakit belasan tahun. Kalimat pertama yang meluncur dari mulut besarnya hanya, “ Bagimana bisnismu sekarang ? “
Aku langsung gelagapan dibuatnya. Sebab setelah bertahun-tahun kehilangan pekerjaan, bisnis yang aku jalani tak jua sukses. Merintis bisnis sembari merawat mertua yang sakit parah membuat kakiku berat untuk melangkah.
Aku coba alihkan percakapan dengan menceritakan detik-detik terakhir ayahnya meninggal. Aku berharap dia terharu kala ayahnya meninggal dalam dekapan aku dan istriku. Dalam kondisi sakit parah.
Tapi Nanang langsung berkomentar, “ Aku tak ingin membicarakan itu. “
Saat kusampaikan pesan terakhir dari mulut ayahnya. Agar kelak Nanag bisa jadi wali nikah Navis, adik perempuannya.
Wajahnya langsung menyiratkan kemarahan.
“ Apa Navis mau nikah sekarang ? “ tanyanya dengan nada tak suka.