“ Banyak keinginan membuat hidup kita tidak bahagia “
Kita sering kali mencari alasan untuk membenarkan kegagalan kita. Membenarkan kesalahan kita. Ketika Papa masih sakit dan aku harus merawatnya, aku jadikan hal ini sebagai alasan atas kegagalan mencari nafkah. Nawang tahu hal itu. Sebab hal ini hampir sama dengan Papa yang menjadikan penyakitnya untuk lari dari tanggung jawab membesarkan putri ketiganya Navis.
Tak ayal sejak Papa meninggal dan kesuksesan tak menghampiriku, aku tak punya alasan lagi. Nawang pun kehilangan kesungkanan karena di rumah ini tak ada lagi air kecing bau di kamar tidur. Tak ada yang yang perlu dimandikan dan disuapi. Tak ada lagi kebingungan menebus obat syaraf yang sulit dicari . Tapi setelah semua masalah itu hilang, kami tetap saja terbelit masalah keuangan.
Akibatnya intensitas pertengkaran kami meninggi. Puncaknya Nawang membanting keras pagar rumah usai turun dari sepeda motor yang kupakai untuk menjemputnya dari kantor. Padahal sejumlah tetangga sedang bercengkrama di depan rumah sebelah. Rasa maluku tumpah ruah.
Ditengah beban kerja yang menumpuk, Nawang yang lelah bekerja harus terjebak macet berkepanjangan. Duduk kaku membonceng sepeda motorku.
“ Tak bisakah kita beli mobil walau bekas, “ keluhnya.
Amarahnya meledak karena aku tak hiraukan kesahnya.
Ini karena pikiranku terfokus pada jalanan. Sebab aku ingin segera pulang . Sebab Nayla dan Naro yang masih kecil hanya berdua saja di rumah. Sebab lampu rumah dan toko di sepanjang jalan mati. Bagaimana kalau rumah kami mati lampu juga ?
***
Kepergian Papa, juga memunculkan kembali masalah lama. Tante Indah yang selama ini merawat Navis menanyakan pembagian rumah ini. Karena ia tidak tahu jika rumah ini sudah dihibahkan pada Nawang.
Pertengkaran hebat antara dua keluarga terjadi. Ini karena Tante Indah berharap biaya yang dikeluarkan selama merawat Navis diganti. Sebuah buku berisi pengeluaran biaya hidup sejak Navis bayi disodorkan Tante Indah pada kami.
Aku membalas dengan menyodorkan akte hibah yang telah ditandatangani Papa, Nanang, Nawang dan Navis. Aku juga sodorkan perhitungannya. Lantas aku lengkapi dengan sisa uang yang harus diterima Navis. Jumlahnya jauh diabwah uang yang diharapkan Tante Indah.
Aku beruntung, uang duka Papa dari sanak saudara, teman dan kantor tempat Nawang bekerja cukup banyak. Hingga aku bisa menyerahkan sisa uang yang menjadi hak Navis.
Tante Indah langsung meledak amarahnya. Uang itu ditolaknya. Memaki-maki aku dan Nawang. Aku yang sudah diatas angin hanya tersenyum penuh kemenangan. Tapi Nawang tersulut membalas makian itu. Sedangkan Navis diam terpaku kebingungan sebab ia membutuhkan uang.
Makian Tante Indah bahkan terus terdengar hingga di jalan, saat suaminya mengajaknya pulang. Demikian pula makian Nawang terus terdengar, walau aku terus mengingatkan. Mereka bagai anjing galak yang saling menyalak. Kami para suami seperti pemilik anjing yang berusaha saling menjauhkan.
Sejarah kembali terulang di rumah ini tapi dalam kondisi berbeda. Dulu Tante Indah memaki-maki Papa dan Nawang karena tak mampu membayar pinjaman. Tak mampu merawat Navis. Kala itu Nawang dan Papa hanya bisa terdiam. Kini Nawang terpuaskan karena mampu membalas dendamnya. Wajahnya tampak sumringah padahal aku malu bukan kepalang terhadap para tetangga.
***
Entah apa yang ada di benak Tante Indah, hingga bisa berharap aku dan Nawang mau mengganti biaya hidup Navis. Seolah merawat Navis yang ditinggal ibunya sejak bayi itu adalah kegiatan berinvestasi. Seolah Navis adalah tabungan. Sebagai mantan manager investasi, aku hanya bisa terbahak-bahak. Investasi macam ini. Tapi aku tak bisa tertawa lama, sebab Nawang menggerutu tentang cicilan rumah baru kami. Tak hanya itu sisa kelebihan juga diminta Developer lunasi. Terpaksa kami harus mencicilnya.
“ Jual saja rumah itu, “ kata Nawang.
“ Mana bisa ? rumah itu dijaminkan di bank. Kelebihan tanah belum dibayar. “ tanyaku.
“ Oper kredit atau cari pembeli yang mau lunasi. Sisa tanah tak perlu dibayar. Secara hukum rumah itu milik kita termasuk kelebihan tanahnya. Sebab kita sudah tandatangani akta jual beli di notaris. Aku orang bank tahu itu. “
“ Jadi untuk jual beli kita tak perlu developer ? “
“ Tidak perlu. Hanya perlu notaris saja. Tapi notaris nanti minta bukti pembayaran PBB[1]. Dimana surat PBB rumah itu ? “
“ Di develoer, “ jawabku.
“ Lha, itu tugasmu. “ ucap Nawang sebab setelah bertahun-tahun jadi istriku, ia tahu betapa banyak tipu muslihatku. Padahal setelah memalsukan resep Papa dan juga obatnya, aku lelah bertipu daya.