Pinggiran Roti Tawar

Fey Mega
Chapter #2

Slice of Paradise

Kring!

Lonceng toko kue Sweet Tooth berbunyi, setelah seharian tanpa pengunjung. Mata yang nyaris terpejam sebab lelah menunggu pun berpendar ke arah sumber suara. Bibir ini tersungging penuh harapan, aku menarik napas dalam-dalam seolah menyiapkan sambutan yang menarik agar pengunjungnya nyaman. Ujung mataku menatap sekilas ke arah refleksiku di jendela toko sebelah kiri.

Perfect, batinku.

Sosok pria berkacamata masuk dari arah pintu kayu mahogani itu dengan tergesa-gesa, aku agak mengernyit, ketidak-asingan menyeruak ke dalam pikiran ini. Ada dorongan untuk menanyakan hal tersebut, sayangnya kesempatan itu tertahan.

“Selamat datang di toko Sweet Tooth, mau pesan apa?”

Pertanyaan itu berakhir tanpa respon, sosok berkacamata itu langsung duduk di meja pengunjung tanpa memesan terlebih dulu. Alisku terangkat, senyum semringahku masih belum hilang. Menyingkirkan rasa malu, aku menghampiri orang itu ke mejanya – bisa jadi ini pertama kalinya ia datang ke Sweet Tooth dan tak mengerti cara memesan makanannya.

“Permisi?” tanyaku, agak pelan. Pria itu masih fokus ke layar smartphone-nya, tampaknya ia sedang menonton sebuah siaran langsung. “Kak? Ada yang bisa kubantu?” tekanku, sekali lagi—mengabaikan betapa kencangnya volume suara yang terhantar dari smartphone-nya.

Pria itu masih belum merespon, aku mulai sedikit kesal. Tanganku menyentuh bahu bungkuknya. “Kak? Maaf sebelumnya, kursi di dalam toko ini khusus untuk pembeli. Kalau tidak keberatan, duduknya bisa pindah saja ke meja yang ada di luar,” sengaja aku naikkan nada suaraku, layaknya mengancam. Biarpun tubuh ini kecil nan pendek, setidaknya aku bisa memasang tampang mengerikan jika orang ini macam-macam.

Lagian ada CCTV kok! Aku berusaha meyakinkan diri sendiri.

Pria berkacamata itu mulai mendongak, sembari membenarkan posisi kacamata ber-frame hitamnya. Ia menelan ludah, seperti kebingungan dan tak tahu harus melakukan apa.

“Menu andalan kita di sini Cheese Cake,” tawarku, masih berusaha ramah.

Pria itu bergerak sedikit dari kursinya, kembali fokus pada smartphone-nya. “Aku gak suka keju,” datar pria itu.

Aku membungkuk sedikit, menyelaraskan pandangan pada pria itu, berusaha mencari perhatiannya. Aku menyibakkan rambut ke telinga, ancang-ancang. “Sebenarnya, di sini bukan hanya ada menu itu, Kak. Masih ada cinnamon muffins, donuts, pie, cup cakes, croissant dan masih banyak lagi, kalau mau lihat-lihat menunya ada di depan etalase.”

Waffle ice cream.” Akhirnya, pria berkacamata itu menatapku, matanya merah dan sedikit bergetar. “Cokelat.” Dan melanjutkan aktifitas sebelumnya.

Aku meluruskan tubuh, setelah itu mengembuskan napas yang sempat tercekat. Kutulis menu pesanannya. “Minumnya?” tanpa melihat lagi, aku sudah hendak meninggalkan meja itu dan kembali ke etalase frontline.

Ice tea,” singkatnya.

Aku menulisnya lagi, tatapan agak mendelik. Dengan sedikit berlari, aku pun bergegas untuk menyiapkan pesanan pria itu. Kebetulan semua menu kue sudah dipersiapkan sebelumnya, sehingga aku tinggal menghidangkannya saja dengan es krim cokelat di atasnya, serta menambahkan beberapa garnish di piring agar terkesan cantik.

“Sweetest slice of paradise, waffle with ice cream chocolate on top!”

Signature words, sebuah kebiasaan yang semula membuatku malu, kini merupakan salah satu momen yang kutunggu ketika bekerja di sini—dan menjadi ciri utama toko ini.

Tanpa tanggapan, lagi dan lagi.

Oh, hari yang sempurna—toko sepi sejak perpindahan shift dan sekalinya dapat pembeli, malah dikasih yang aneh seperti ini.

Aku kembali ke etalase, menyibukkan diri dengan membersihkan kaca-kacanya. Secara mental, ada rasa sesal yang tersirat—mungkin service yang kuberikan tadi kurang menarik, tak biasanya ada pembeli secuek ini. Setelah kaca bersih, mataku menatap sebentar ke arah pria aneh itu, kemudian berdiri tegap di depan alat kasir, pura-pura menghitung pemasukan hari ini. Mataku menangkap sedikit pergerakan pria itu, kegelisahannya terpancar.

Volume nyaring dari siaran langsung yang di tontonnya, mengisi kekosongan toko. Sehingga, mau tidak mau, aku ikut mendengarkan celotehan orang yang berada di siaran langsungnya. Tak terasa, waktu berlalu begitu saja. Kulihat waffle pria itu sudah habis setengah, bahkan ice tea-nya hampir raib.

Aku duduk di lantai, sehingga bisa saja si pembeli mengira bahwa karyawan toko ini tak bertanggungjawab. Namun, faktanya aku hanya ingin beristirahat untuk sebentar saja sembari melahap cup cakes yang gagal dibuat tadi pagi. Hari lengang membuat tubuh manusia lebih cepat kelelahan, sebaliknya kesibukan bisa mengaburkan semuanya itu.

Kebahagiaan itu sederhana, apalagi saat kita mengalami hari yang buruk dan tiba-tiba saja ada hujan cup cake, heaven is just a cup cake away.

Lihat selengkapnya