Pinggiran Roti Tawar

Fey Mega
Chapter #3

Sweet Tooth

Ting! Ting! Ting!

Nada dering pesan whatsapp masuk, sudah seminggu pesan-pesan sialan itu menghantuiku. Dengan sedikit marah, kutatap isi pesan-pesan itu, kebanyakan berkaitan dengan channel Hamdan dan klinik Ikigai milik keluarga istrinya—sebab amarah ini tertahan sudah lumayan lama dan terkadang mengganggu aktifitasku, hari ini aku memutuskan untuk menyimpan smartphone itu di rumah saja, tanpa membawanya ke tempat kerja.

Sebelum ada teknologi, manusia bisa bertahan hidup kok. Yes, it’s alright!

Hari ini aku kebagian tugas untuk membuat kue dengan Nenek Puspita, sang pemilik toko dan mastermind dari semua racikan-racikan ajaib yang mampu menyihir pembeli untuk datang lagi dan lagi, bahkan kebanyakan dari mereka memutuskan menjadi pelanggan tetap.

Subuh kali ini terasa berat, tetapi antusiasmenya tak gampang diredam. Bagaimana tidak, karyawan di toko Sweet Tooth hanya aku dan Neo—saat hari kerja, biasanya kita bertugas menjaga toko saja. Sementara di akhir pekan, aku dan Neo bergantian membantu Nenek Puspita mengolah semua kue-kue, karena di akhir pekan pengunjung akan sangat banyak.

Dalam seminggu Nenek Puspita datang ke toko paling tidak tiga kali, menyetok kue-kue itu kemudian beristirahat lagi di rumahnya, maklum umur nenek sudah tak muda lagi, energinya pun sudah terbatas. 

Dan kitalah yang akan merumuskan kue apa saja yang laris dan yang kurang diminati secara data setiap harinya, kadang ada beberapa kue yang digandrungi setiap musimnya, bergulir bagaikan cuaca. Contohnya saja di akhir tahun seperti sekarang ini. Cuaca di Bandung akan turun drastis sebab curah hujan yang tinggi, maka kue-kue yang menjadi primadona ialah cup cake, terutama menjelang natal dan tahun baru, pesanan cup cakes semakin melimpah. Namun ada beberapa menu yang selalu jadi best seller di sepanjang tahun—yaitu cheese cake, kue itu cocok dimakan di dalam kondisi apa saja. Dan minuman panas menjadi pendamping yang sempurna, dikala musim hujan, apalagi di daratan tinggi wilayah Bandung.

Aku mengucek mata, pikiran penuh saat bangun tidur memang membuatku langsung terjaga. Setelah menatap refleksiku di cermin full body sebelah kasur, lalu memukul pelan kedua pipi beberapa kali, dan merapikan rambut acak-acakanku. Setelahnya kuganti baju tidur dengan seragam tanpa mandi, berat rasanya untuk melangkahkan kaki ke kamar mandi di suhu Bandung yang sedang ekstrim begini.

Seringai puas terpancar, wajahku manis sehingga tak mandi bukanlah dosa terbesar. Mungkin setelah lewat jam sebelas siang nanti, aku baru akan mandi di toko. Duduklah aku sebentar di kasur kapuk berukuran sedang, setidaknya bisa menampung ibu dan aku saja sudah syukur, lagipula tubuh kita berdua kecil—dan kini kasurnya terasa sangat besar, semenjak ibu dirawat di RSJ.

Kumasukkan beberapa peralatan kerja atau hal-hal yang sekiranya bakal dibutuhkan setelah shift-ku beres; misalnya saja buku-buku Keigo atau Murakami, sebotol isi-ulang air minum, buku jurnal, alat tulis, dompet, kaos ganti dan payung hitam. Biasanya aku membawa smarphone dengan charge, akan tetapi hari ini menjadi pengecualian.

Semua sudah siap, tinggal memakai jaket bomber hitamku, kemudian mengaitkan kedua tali ransel berwarna hitam berbentuk kotak persegi di pundak, menyesuaikan tali dengan postur tubuhku agar nantinya tak sakit. Kadang mengaitkan satu tali memanglah terasa keren, tetapi efeknya pundak ini akan sakit berlama-lama, apalagi kalau talinya longgar dan tidak menyesuaikan tubuh.

Tak lupa, aku berkeliling rumah untuk mematikan semua lampu supaya mengirit daya listriknya. Kuraih headphone wireless KW di atas meja belajar, warnanya abu-abu, kebetulan kubeli saat ada diskon besar-besaran di toko online. Memakainya sambil melihat cermin, menyeringai bangga. Kutekan tombol power, lalu terdengar suara, “the bluetooth device is connected successfully, the device is ready to pair.” Ciri khas perangkat KW, kemudian senyap. Aku tercenung, tiba-tiba saja ingat kalau hari ini tak akan membawa HP. Maka, kutekan tombol radio, suara penyiar pun mengudara.

Setelah memakai sepatu converse kesukaanku, melengganglah tubuh ini di tengah udara Setiabudhi atas nan dingin ini. Subuh-subuh begini sembari mengendarai sepeda tua, memanglah pengalaman yang tak biasa.

Badanku pun sedikit bergidik, hanya saja sebuah dorongan lain berbisik, maka setelah merasa kedinginan di atas sepeda, satu-satunya obat adalah mengayuhnya lebih cepat. Kosan dan tempat kerjaku jaraknya tak begitu jauh, sekitar empat kilometer atau lima belas menitan. Ocehan penyiar radio, serta pemandangan rumah-rumah mewah tak berpenghuni sudah menjadi makanan setiap hari.

Aku menarik dan mengembuskan napas secara teratur, memanfaatkan oksigen segar pagi buta. Setidaknya, sebagian masalah rasanya sirna setelahnya. Plang toko sudah terlihat dari kejauhan, walau lampunya belum dinyalakan. 

Selepas mendarat di parkiran belakang toko, tepatnya di depan mushala dan tempat wudhu yang berada di luar toko. Kusimpan sepeda dan tak lupa merantainya, bagaimanapun kejahatan bisa terjadi di mana saja. Untuk manusia yang berada di titik tengah kemiskinan, sepeda ini termasuk barang berhargaku, alasanku bersemangat setiap berangkat atau pulang kerja.

Masuk lewat pintu belakang dengan kunci ganda, aku melihat Nenek Puspita sudah menyiapkan beberapa bahan-bahan adonan kue. “Selamat pagi, Nek,” riangku, menatap jam di dinding dapur, rupanya sudah lewat lima belas menit, pantas saja. “Maaf, ya, hari ini agak telat. Banyak kerjaan di rumah.” Bukan sekadar beralasan, pekerjaan rumahku berlipat ganda setelah ibu tak ada—kondisi rumah yang dari awal sunyi sekarang semakin redup. Dan Nenek Puspita selalu memaklumi, itulah mengapa rasa hormatku begitu besar untuknya.

Nenek berhenti mengadon, melirik padaku yang berdiri di ambang pintu belakang. Wanita tua itu menunjuk ke telinganya, aku tercekat dan baru sadar kalau aku masih memakai headphone. Secara refleks aku melepaskannya, pamitan sebentar untuk meletakkan tas dan barang-barangku dulu. Nenek hanya mengangguk sambil tersenyum simpul.

Aku yang tak enak hati pun terbirit-birit naik ke lantai dua. Di atas toko ini ada semacam kamar serta toilet, disediakan kalau-kalau salah satu dari kita malas pulang ke rumah selepas shift malam atau saat salah satu dari aku dan Neo libur, kita akan bekerja full time—sebagai gantinya, kita dibiarkan untuk beristirahat di sini.

Aku selalu menduga kalau Nenek Puspita itu mantan pengusaha besar yang memutuskan untuk pensiun, mendirikan toko kue ini hanyalah hobi baginya. Sebab, bangunan fancy tapi simpel ini tidak dia sewa, melainkan kepunyaannya sendiri. Dengan gaya toko vintage penuh keelaganan dan lantai dua yang disulap bagai hunian apartemen berkelas menengah berkonsep minimalis, kurasa untuk yang satu itu Neo yang punya ide.

Mereka bahkan selalu memaksaku untuk pindah ke sini saja, tetapi aku tak sampai hati untuk memanfaatkan kebaikan mereka terus-terusan. Setelah menyimpan tas-ku di atas sofa berwarna beige, aku pun membuka kulkas. Meminum kopi bekas kemarin, kemudian membuang sampahnya. Butuh nikotin untuk terjaga dan waras, setelah tragedi ibuku dan Hamdan. Bajingan, batinku meronta setiap mengingatnya lagi.

Berjalanlah aku meninggalkan sofa itu, menuju tangga sebelum melewati toilet dengan pintu yang terbuka. Entah mengapa, aku mulai tertawa kecil saat melihat kaos putihku tergantung di toilet yang terbuka, pasti Neo yang mencucinya kemarin—pria itu memang sukar ditebak dan cenderung terlalu baik untuk orang tajir sepertinya. Acap kali meninggikan harapan, bahkan padaku yang biasanya skeptis perihal ketulusan cinta.

Aku bergegas menemui nenek di dapur toko, setelah memakai apron, topi dan sarung tangan plastiknya. “Fem, besok nenek mau libur dulu, ya?”

“Kenapa, Nek? Sakit? Neo udah tahu?”

Hold your horse, anak muda. Nenek ada urusan di Singapura. Sebulanan ini tolong jaga toko, juga jagain Neo, ya?”

“Ta-tapi, Nek...”

“Kamu udah lama kerja di sini—” dia mengangkat kesepuluh jari tangannya, lalu menurunkan kedua jarinya. “Delapan tahun? Pokoknya kamu orang pertama dan satu-satunya selain Neo yang nenek percaya jagain toko kesayangan nenek ini. Walaupun tak pernah dilepas untuk membuat kue-kue ini sendirian, nenek yakin sebenarnya kamu udah hatam, kalian berdua bakal jadi partner yang hebat.”

Lihat selengkapnya