“Pak, sebentar lagi on air. Lima menit udah ready, ya?” Hamdan memalingkan wajah ke ambang pintu ruang kantornya, laki-laki matang dengan setelan jas abu-abu serta daleman kaos polos hitam—untuk pria di awal umur empat puluhan, Hamdan Rukmana masih tergolong good looking dengan clean mid-length hairstyle berlayer serta memeluk kepalanya dengan sempurna, poninya disisir rapi menyamping hingga bagian belakang—gaya yang sudah tidak hits, tetapi selalu abadi sehingga terkesan klasik dan manly.
Hamdan menatap asistennya, butuh beberapa detik sebelum ia bereaksi. “Lina, udah dapat kabar dari anaknya ibu Lilis?” laki-laki itu bersuara dengan nada bass baritone sehingga mampu memikat bahkan menyihir siapa saja yang mendengarnya, terutama sering ia gunakan untuk keperluan kerja—sebuah industri yang memanfaatkan kenyamanan indera pendengaran mereka.
“Sudah beberapa hari dihubungi, belum ada respon lanjutan.”
Hamdan tampak gusar. “Mungkin lebih baik kalau ibu Lilis dirujuk ke sini lagi saja, Lin. Follow up terus anak ibu Lilis, jika perlu desak atau beri tunjangan secukupnya. Ingat, klinik Ikigai dipertaruhkan, bola panas terus-menerus bergulir di media sosial.”
“Noted, Pak. Saya pamit dulu.” Lina asisten Hamdan dengan setelan kasual, rambut bob, gigi berbehel serta kulit mulusnya itu tersenyum menampakkan deretan giginya. “Oh, iya hampir lupa, untuk pendamping on air nanti, biar Delia saja yang gantikan. Hari ini memang agenda saya untuk menemui anak ibu Lilis atas perintah direktur,” kata Lina, lalu menutup pintunya dengan hati-hati.
Di dalam ruangan Hamdan, sudah ada orang-orang tata rias/busana. Setelah mereka memastikan penampilan Hamdan on point, pria matang itu menatap cermin bulat di atas meja, cermin milik orang-orang tata rias. Hari ini dia harus terlihat kepayahan—jangan terlalu rapi sehingga netizen akan curiga kalau video klarifikasinya tidak tulus. “Ini masih terlalu rapi, Nan. Buat agak turun poninya, jangan terlalu tinggi.” Sang penata rias itu pun menurut tanpa banyak bicara.
“Gimana Pak Hamdan kalau gini?”
“Lumayan, sekalian hapus powder di area mata saya, buat seolah-olah kurang tidur selama beberapa hari ini,” pintanya lagi, masih dengan nada beratnya. Penata rias pun re-touch make up itu untuk beberapa saat. Setelah usai, sang penata rias menatap cermin, layaknya komando otomatis yang membuat Hamdan secara tak sadar ikut menatap ke arah cermin juga. “Sip, ini baru perfect.”
Para penata rias/busana tersenyum kegirangan, bahkan hampir ada yang mau lompat-lompat.
Hamdan bangkit dari tempat duduknya, lalu ia melenggang dengan postur tegapnya. Langkah yang pasti membuat auranya semakin kharismatik, Hamdan terkenal dengan keramahan yang membumi, maka di sepanjang jalan menuju ruangan pasien yang sudah disulap menjadi studio podcast itu pun dipenuhi oleh sapaan dan senyum renyah penuh kepalsuan.
“Pak Gustaf, semangat kerjanya,” kata Hamdan dengan menepuk pundak cleaning service itu—dibalas oleh Gustaf dengan senyum bahagia sebab diberi perhatian oleh orang macam Hamdan.
Klinik Ikigai memang tidak terlalu besar, tetapi sudah masuk kategori mewah dan biaya berobat di sini relatif mahal. Mungkin, gara-gara tempatnya terkenal se-antero Jawa Barat. Padahal klinik itu baru sepuluh tahun berdiri dan klinik Ikigai mampu menyaingi banyak rumah sakit di sekitarnya, terutama dari segi pendapatan—tak bisa dipungkiri, pengaruh terbesar klinik swasta memanglah dana dari pasien-pasiennya, tanpa suntikan sponsor maka donatur tertinggi tetaplah ada di tangan pasien.
Itulah kenapa klinik ini bersusah payah membangun branding di sosial media, setidaknya agar orang-orang percaya dan mau berobat ke sini secara berkala. Layaknya hukum tarik menarik, hubungan antara Hamdan dan klinik ini ada karena tingkat kepercayaan pasien pada mereka dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Sesampainya di ruang studio ala-ala itu, Hamdan masih asik menyapa sana-sini, mengepakkan efek butterfly-nya. Orang-orang di sekelilingnya menganggap kalau pria charming itu pahlawan, bahkan fans-fans fanatiknya menganggap Hamdan sebagai malaikat.
Sugesti masal yang Hamdan sudah lakukan bertahun-tahun memang membuahkan hasil yang memuaskan. Di samping branding dari Hamdan, klinik ini menyediakan pengobatan gratis bagi orang-orang spesial yang dipilih secara eksklusif olehnya, bahkan setiap hari senin dia selalu membagikan kue-kue gratis pada penyintas mental disorder yang mau sharing pengalaman spiritual mereka di kolom komentar instagram-nya, dia juga banyak mengikuti penggalangan dana bagi para penyintas.
Kesimpulan kasar yang bisa diberikan atas perilaku Hamdan adalah—manusia tak mampu menembus kedalaman niat seseorang, demikianlah iblis-iblis kemunafikan tumbuh subur.
Pria berkharisma, baik, dermawan, istri pintar, mertua kaya raya dan kedua anak yang lucu-lucu. Hamdan Rukmana merupakan antidote bagi para penggemarnya—personanya baik di sosial media atau kehidupan sehari-harinya, dibuat sesempurna mungkin, tanpa cela. Sampai-sampai Hamdan sendiri sulit membedakan mana dirinya atau alter egonya.
“Silakan duduk di sini, Pak.” Hamdan dengan tenang, duduk di tengah-tengah kursi sofa panjang berwarna cokelat. Duduk tegak dengan kedua kaki agak terbuka, postur tubuh menunduk yang mengisyaratkan penyesalan.