Hari itu, Hamdan tak menemui Lina. Ia malah mampir ke kediaman Amara—menenangkan perempuan muda itu dengan segala rayuan pamungkasnya. Meyakinkannya agar tetap tenang saat situasi buruk belakangan ini menghampiri mereka berdua.
Keduanya selesai bercumbu mesra, tanpa rasa bersalah atau moral yang mengikat.
“Honey, sebenernya anak ibu Lilis tadi ngehubungin aku, sebelum kamu ke sini.”
“Hm? Apa katanya?”
“Dia bilang gak mau mindahin ibunya ke Ikigai.”
“Marah?”
Amara berpikir sejenak, mengingat-ngingat nada suara Femi. “Dari suaranya sih kayanya dia gak marah, kaya dugaanku selama ini. Malah cenderung santai? Dingin? Bahkan, dia sempet nanyain kabar aku sama Lina.”
“Dia juga kenal sama Lina? Wow, dunia sempit, ya.”
“Bukan dunia yang sempit, tapi aku yang ngenalin ibu Lilis sama tim Ikigai,” saut Amara.
“Oh, tapi ada yang aneh sih. Si Lina berlaga seolah gak kenal anak ibu Lilis, kenapa?”
Amara menatap nanar kekasihnya. “Ceritanya panjang, aku lagi males bahasnya.”
Hamdan merangkul Amara, membuat tubuh telanjang mereka menempel satu sama lain. Pria itu mencium kening Amara, lalu tersenyum. “Kenapa gak kalian aja yang bujuk anak itu. Mungkin kalau sama temen lamanya dia bisa luluh.”
Amara mengangkat bahunya. “Dia tuh orangnya lempeng, tapi cukup keras kepala.”
“Coba aja dulu, lagipula ibu Lilis hari ini tetap kita pindahin ke Ikigai kok.”
“Ih, kok gitu sih.”