Tari tak memiliki tenaga yang tersisa. Dia memilih memaksakan diri untuk masuk ke dalam lift berisi empat orang yang berdiri berjauhan daripada berlama-lama di kantor meski sekedar untuk mengistirahatkan badannya sebentar.
Tari memilih berdiri tenang di pojok sambil berseluncur di dunia maya.
“Tari?” Tari menoleh. Sosok laki-laki tinggi dengan potongan rambut yang rapi itu tersenyum ke arahnya. Dia tidak mengenal seseorang yang menyapanya itu.
“Hai. Kamu nggak ingat? Saya Aryan.”
Tari masih berusaha keras mengingatnya.
“Ah! Aryan apa kabar?” Saat itu, Tari tak pernah menyangka sedikitpun akan bertemu secara tak sengaja dengan salah satu teman sekantor Malik. Belum sempat mendengar jawaban Aryan, tubuhnya terdorong oleh seseorang hingga keluar dari lift yang sudah berhenti di lobby. Tubuh Tari sedikit limbung. Dia meringis membetulkan posisi tas dan jilbabnya yang sedikit berantakan. Aryan tersenyum dan menyusulnya keluar perlahan dari lift.
“Kabar saya baik," jawab Aryan.
“Ada urusan apa di sini?” Tari benar-benar tak menyangka bisa bertemu dengannya di lift gedung tempatnya bekerja.
“Ketemu abang saya. Kamu kerja di sini?”
Tari mengangguk. “Abang kamu kerja di sini juga? Siapa namanya?”
“Raka. Leader tim legal.”
“Oh, ya ampun, mungkin ini yang dimaksud dari dunia hanya selebar daun kelor ya, aku sering konsultasi sama Mas Raka terkait pekerjaan.”
Obrolan ringan terus berlanjut di depan lift. Baik Tari maupun Aryan tak ada yang beranjak sedikitpun. Tari merasa sangat senang bisa bertemu dengan seseorang yang bisa berbagi ingatan tentang Malik. Hati Tari terasa hangat.
Aryan adalah teman satu kantor sekaligus sahabat Malik. Dia memutuskan keluar dari firma tempatnya bekerja untuk melanjutkan studi di luar negeri. Saat mendapatkan kabar Malik meninggal, dia mengaku sangat terpukul karena tak bisa pulang ke Indonesia untuk melihat Malik yang terakhir kali. Kemudian dia menyibukkan dirinya demi bisa bertahan atas kehilangan mendadak itu. Baru sekitar dua hari yang lalu dia pulang ke Indonesia dan mulai mengunjungi keluarganya satu persatu.
“Apa cuma aku yang ngerasain kaki pegal karena kita ngobrol sambil berdiri?” tanya Tari. Aryan tertawa.
“Sorry, sebaiknya sekarang saya ajak kamu ke kafe di seberang kantor ini. Gimana?” tanya Aryan dengan wajah berseri. Tari mengangguk setuju.
Pertemuan hari itu, ternyata bukan untuk yang terakhir. Tari tidak terlalu mempermasalahkannya. Sudah hampir dua tahun sejak Malik meninggal, tapi baik keluarganya ataupun keluarga Malik belum cukup berduka dan masih sering menangis jika Tari membahas tentang Malik. Perempuan itu tak sanggup melihatnya. Akhirnya dia memutuskan untuk berhenti membahas Malik. Menyimpan kenangan bersamanya sendirian. Jika sesekali perasaan rindu pada Malik mulai terasa akan membunuhnya, Tari cukup menelpon Putri dan mendengar suara ceria sahabatnya itu. Maka semuanya kembali baik-baik saja.
***
Putri menemani Dhiya belajar sembari melipat pakaian. Matanya berbinar menyaksikan Zain yang sibuk bermain dengan Lili dan Dhiya yang menjadi lebih tenang setelah perjanjian yang dibuatnya dengan bundanya. Selesai melipat pakaian, Putri beranjak untuk menyusunnya dengan rapi di lemari. Sudah hampir dua bulan berlalu begitu saja sejak dia terkena PHK. Perasaan hampa dan jenuh seringkali membuat perasaannya memburuk. Seumur hidupnya dipakai untuk belajar dan bekerja. Bahkan setelah menikah dan menjadi seorang ibu pun Putri tetap memilih untuk bekerja. Lalu tiba-tiba saja semua hal itu harus berakhir. Perempuan itu merasa belum siap atas perubahan yang terjadi. Apalagi melihat Bagas yang sangat sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan sosialnya, membuatnya sangat gelisah dan kesal.