Kebahagiaan grand opening butik impian Putri tidak berlangsung terlalu lama karena menginjak bulan ke enam, butiknya benar-benar tidak memiliki pelanggan sama sekali. Putri mencengkram kuat jemarinya yang gemetaran. Dia berusaha keras menghilangkan kepanikan yang menguasai dirinya saat rapat darurat diadakan.
“Kira-kira apa yang menyebabkan penjualan kita terus menurun?” tanya Putri.
“Pemasukan toko sejak awal memang kurang bagus, Bu. Mungkin karena kebanyakan orang terbiasa belanja secara online selama pandemi," jawab Riska karyawan yang dipercaya oleh Putri untuk mengelola butik.
“Sudah pasang iklan, kan?”
“Sudah, Bu. Diiklankan sesuai materi yang ibu minta.” Kali ini Fanny, admin social media, yang menyahut.
“Untuk endorse selebgram bagaimana?”
“Penjualan online sedikit naik, tapi tidak berpengaruh terlalu besar, Bu.” Riska menyodorkan grafik penjualan.
“Oke, kalian lanjutkan pekerjaan kalian.”
Putri sudah memakai habis uang pesangonnya untuk modal produksi, sewa ruko, dan semua operasional selama enam bulan termasuk menggaji karyawannya. Namun pendapatannya tidak kunjung membaik. Biaya produksi yang tinggi karena konsep limited editionnya membuat mahal harga barang. Hal tersebut tidak sesuai dengan keadaan perekonomian yang sedang tidak stabil pasca pandemi sehingga barang dengan harga tinggi tidak laku di pasaran.
Sesampainya di rumah, Zain menangis gara-gara Lili merebut mainannya. Pengasuhnya mencoba menenangkan Zain dengan meminta kembali mainannya dari Lili. Namun balita mungil yang sudah pintar berbicara itu menolak memberikannya membuat Zain semakin mengamuk. Putri menghela napas.
“Dhiya di mana, Sus?” tanya Putri.
“Dhiya di kamar, Bu. Baru pulang sekolah," jawab pengasuh. Putri mengangguk dan mendekati Lili.
“Adik, itu mainan abang, nggak boleh asal rebut. Harus bilang pinjam.”
Lili menyerahkan mainannya kepada Putri sambil tersenyum. Melihat hal itu hati Putri terenyuh. Bayangan bisnisnya akan bangkrut padahal baru enam bulan berjalan membuat dadanya terasa sesak. Dia memeluk erat Lili dan menggendongnya ke kamar.
***
Kondisi keuangan Putri benar-benar memburuk. Bisnisnya berada diambang kebangkrutan. Dia bahkan tidak memiliki lagi dana tersisa untuk menggaji karyawan dan membayar tagihan operasional butik. Bagas hampir tidak pernah bertanya keadaannya dan semakin sibuk dengan pekerjaan dan komunitas vespanya. Apalagi setelah pemerintah mencabut status pembatasan sosial, Bagas semakin sibuk di luar.
Selesai makan malam, Putri mencuci piring dan Bagas sibuk dengan ponselnya. Perempuan itu mengelap jemarinya dengan lembut, berjalan ke arah Bagas.
“Sayang, kira-kira bisa bantu untuk menggaji anak-anak butik nggak bulan ini?” tanya Putri hati-hati. Bagas menatapnya lama. Seolah dia tidak memahami maksud dari perkataan istrinya itu.