SUDAH JATUH TERTIMPA TANGGA PULA adalah ungkapan paling pas bagi Putri. Setelah kejadian malam itu, Putri tahu betul bahwa keputusan Bagas bersifat mengikat dan tak bisa diganggu gugat. Segala perdebatan tidak membuahkan hasil apapun selain dari perasaannya yang semakin hancur berkeping-keping.
Putri mengenal Bagas dengan baik lebih dari siapapun. Meski ratusan orang mengatakan semuanya bisa dibicarakan baik-baik, tak akan pernah ada yang baik-baik saja jika menghianati laki-laki satu itu. Kini bukan hanya hatinya yang hancur, tetapi dia merasa seluruh hidupnya habis terbakar oleh amarah Bagas yang tak berkesudahan.
Bagas memberikan uang agar Putri melunasi pinjol dengan nominal yang cukup besar di satu aplikasi yang tak sengaja dia ketahui itu . Bagas benar-benar tak tahu bahwa masih ada 19 aplikasi lainnya yang juga harus dibayarkan jika ingin hidup tenang. Putri hanya bisa diam dan menerima semua kemarahan Bagas. Dia tak berniat menjelaskan semuanya kepada suaminya.
Setelah melunasi utang di aplikasi tersebut, Bagas memberhentikan semua karyawan Putri dengan memberikan mereka pesangon yang layak. Butik yang dibangun atas air mata, tenaga, ambisi, dan kebodohan itu resmi ditutup. Lagi, Putri hanya bisa menangis.
Putri tak tahu apa yang paling dia sesali. Entah itu hidupnya atau impiannya. Dia hanya tahu bahwa semua perasaannya untuk Bagas, tercerabut berbarengan dengan impian Putri yang dihanguskan oleh laki-laki itu.
Jika bukan karena anak-anak, rasanya Putri sangat ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Seperti yang selalu dirapalkannya selama ini, bahwa jika sampai Bagas mengetahui semua masalahnya, maka kematian terasa jauh lebih baik.
“Bunda, inget jadwal pentas aku akhir semester ini, kan?” Suara Dhiya memecah lamunan Putri. Kini dia banyak terdiam dan hampa. Senyum Putri mengembang melihat Dhiya sibuk merapikan peralatan sekolahnya dan bersiap untuk tidur.
“Nggak lupa, Sayang. Itu masih lama. Bunda udah pasang alarm di kalender," ucap Putri. Dhiya tersenyum.
Bagas keluar kamar dan berjalan menuju kulkas untuk mengambil air mineral. Senyum Dhiya memudar. Anak itu merasakan sesuatu yang menakutkan setiap orang tuanya berada dalam satu ruangan. Namun, Dhiya tak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi.
Setelah kepergiannya yang mendadak ke rumah kakungnya, Dhiya sering memergoki bundanya tidur di sofa ruang televisi saat hendak mengambil sesuatu di kulkas jika dia terbangun tengah malam.
Melihat ayahnya sudah memegang air mineral, Dhiya buru-buru mencium bundanya dan masuk ke kamar. Putri beranjak untuk merapikan ruang tamu yang penuh dengan mainan.
“Mau sampe kapan kamu diam terus kayak gini?” tanya Bagas. Putri tak mengacuhkannya. Perempuan itu merasa tak ada satu hal pun yang ingin dia katakan kepada Bagas. Dia memilih tetap sibuk dengan urusan beres-beres rumah.
“Hal kayak gini yang bikin aku malas berurusan sama pembohong, penghianat, dan semua orang berperangai buruk. Ketika mereka ketahuan, malah bersikap seolah korban," hardik Bagas sinis sambil menaruh kembali botol air mineral ke dalam kulkas.
Putri tak bergeming. Dia benar-benar melakukan aksi diam. Toh, dia sudah tidak bisa kehilangan lebih banyak dari ini, pikirnya.
***
Rumah Tari adalah satu-satunya tempat di mana Putri bisa bernapas lega. Sedangkan rumah Maya tidak termasuk dalam pilihan karena ada Karina dan Daniel.
Maya buru-buru datang ke rumah Tari setelah mengantarkan Karina ke tempat lesnya. Anak itu benar-benar mirip dengannya. Tenaganya melimpah dan membuatnya masih ingin mengambil pelajaran tambahan di hari liburnya. Tari terlihat sibuk di dapur, padahal Maya sangat yakin bahwa menu sarapan yang dia buat hanyalah roti lapis. Putri mengganti pakaiannya dengan piyama milik Tari dan menyamankan tubuhnya di sofa.
“Aku udah nggak ada gairah hidup," ucap Putri.
“Nggak ada hal kayak gitu. Kamu cuma lagi kehilangan tujuan aja," balas Maya.
“Menurutmu begitu?” tanyanya sambil menerawang langit-langit ruang keluarga.