Boleh dibilang, sejak kecil Aji selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Mulai dari mainan, sekolah favorit, sampai pekerjaan yang bagus berkat orang tuanya yang kaya raya. Semua bisa didapatkannya tanpa perlu usaha terlalu keras. Termasuk perusahaan miliknya sendiri yang baru Aji rintis dua tahun ini.
Setelah memutuskan keluar dari perusahaan fashion terkemuka yang Aji besarkan selama 12 tahun, tetapi hampir bangkrut, Aji memilih untuk membangun startup-nya sendiri.
Jahitin, aplikasi khusus yang mempertemukan antara penjahit dan customer-nya, hasil rintisannya itu menjadi salah satu aplikasi populer. Jahitin menjembatani para penjahit yang kesulitan mendapatkan order dengan pelanggan yang juga kesulitan menemukan penjahit berkualitas, terutama di masa pandemi.
Awalnya, hanya sekitar 20 orang penjahit yang tergabung. Namun setelah dua tahun, sekitar 250 orang penjahit sudah menjadi bagian dari Jahitin yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Saat itu, Aji kesulitan mendapatkan investor untuk memodali mimpi gilanya. Setelah resign, Aji memutuskan untuk berkeliling ke 9 negara, menghabiskan tabungannya sekaligus mengemis ke beberapa pengusaha kenalan orang tuanya demi mendapatkan pendanaan awal. Hal tersebut merupakan perjuangan pertama Aji untuk mendapatkan sesuatu yang sangat dia inginkan.
Melihat tekad Aji, papanya berencana membiarkan Aji sedikit berusaha. Papa hanya memberikan daftar kenalannya yang tersebar di beberapa negara kepada putra semata wayangnya itu tanpa mengulurkan bantuan sama sekali. Namun, selain kehabisan dana dan tertahan di Singapura saat pandemi COVID-19 mulai melanda tiba-tiba, papa tidak mendapatkan kabar baik sama sekali soal investor.
Aji menyadari tidak mudah meyakinkan para investor tentang rancangan bisnisnya. Setelah berhasil kembali ke tanah air, akhirnya Aji mendapatkan investor dari salah satu anak pejabat negara, sekaligus koleganya. Saat itulah Aji juga mendengar tentang kematian Malik. Meskipun terlambat, dia sempat menelepon Tari untuk mengabarkan situasinya yang terjebak di Singapura dan turut berduka cita atas kehilangan mantan anak buahnya itu.
Aji berhasil meyakinkan para investor. Menurutnya, Jahitin bisa menjadi “mainan” baru yang sangat menjanjikan. Terbukti, belum genap 5 tahun, startup miliknya itu sudah mulai membuahkan hasil.
“Permisi, Mas!”
Sinta, sekretaris Aji mengetuk pintu ruangan.
“Masuk, Sin!”
Hampir sama dengan startup lainnya, kantor Jahitin 2 tahun yang lalu hanyalah sebuah ruangan di garasi rumah. Namun, kini Jahitin memiliki kantor sendiri di kawasan SCBD, Jakarta. Ruangan Aji berada di sudut dengan dinding kaca transparan yang bisa membuatnya dengan leluasa melihat aktivitas para karyawannya.
“Saya perlu tanda tangan Mas Aji untuk beberapa berkas. Semuanya harus selesai hari ini ya, Mas.”
Sinta mulai mengeluarkan beberapa lembar berkas dan menatanya di meja.
“Selain di kalender, hari ini ada jadwal lain nggak, Sin?”
“Ada, Mas. Jam 3 nanti Mr. Lim dari Singapura mau ajak meeting terkait proposal yang bulan lalu kita ajukan. Saya belum iyain, kalo Mas oke, saya schedule-kan.”
“Oke, atur aja jam 3 ya.”
“Baik, Mas.”
Sementara Aji menandatangani berkas, Sinta menunggu, berdiri di sampingnya. Dia sudah tahu jika berkas-berkas tadi langsung ditinggal, maka bosnya itu akan melupakannya, paling cepat baru 2 hari kemudian semuanya beres ditandatangani.
Biasanya, sebelum semuanya sampai di hadapan Aji, masing-masing berkas sudah dibahas secara detail dengan pihak-pihak terkait.