Putri menatap wajah Dhiya yang sedang tertidur nyenyak. Sudah tiga hari sejak Putri membawanya ke rumah sakit. Kini kondisinya benar-benar membaik. Perempuan itu menyuruh Bagas pulang karena selain paginya dia harus bekerja, Zain dan Lili pun hanya bersama pengasuh di rumah. Putri mengkhawatirkan mereka.
“Bunda…” Dhiya membuka matanya. Putri mengelus kepalanya lembut.
“Iya, Sayang.”
“Bunda belum bobo?”
“Sebentar lagi. Kakak bobo lagi ya," ucap Putri. Dhiya menyeka air mata di pipi bundanya.
“Bunda kenapa sering nangis?” tanya Dhiya.
Putri menggeleng merasa sangat bersalah atas semua yang terjadi. Seandainya dia tidak terlibat masalah pinjol dan mengkhianati Bagas, maka semuanya pasti masih baik-baik saja. Putri berusaha keras menahan kesedihannya di depan Dhiya, tetapi air matanya justru mengalir semakin deras. Putri menggenggam erat jemari Dhiya dan menelungkupkan jemari kecil itu ke wajahnya. Dhiya menepuk-nepuk bahu bundanya dengan tangan yang dipasangi selang infus.
Putri mengingat percakapan terakhirnya dengan Aji. Penawaran gila yang memang hanya bisa dilakukan oleh Aji.
“Bunda!”
Putri buru-buru mengusap air matanya dan melepaskan genggaman tangannya.
“Maafin bunda, ya!”
Perempuan itu langsung memeluk Dhiya dan membiarkannya kembali tertidur. Putri meraih ponselnya dari tas. Mengirimkan pesan kepada Tari.
[ Putri : Tar, udah tidur? ]
[ Tari : Belum, kenapa? Dhiya gimana keadaannya? ]
[ Putri : Dhiya membaik. Kamu udah tahu kalau Aji CEO Jahitin? ]
[ Tari : Aku baru tau. Kamu tau dari mana? ]
Putri sudah menduganya. Tari pasti mengetahui tentang hal itu, tetapi tidak menceritakan padanya. Putri menaruh ponselnya dan memilih tak membalas pesan Tari. Entah apa lagi yang harus dia hadapi selanjutnya. Hidupnya benar-benar menjadi sangat menarik setelah terkena masalah utang pinjol. Benar-benar tak terduga. Putri langsung ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya dan berusaha untuk tidur.
***
Aji kembali mendatangi Tari di kantornya. Tak peduli seberapa keras Aji menghancurkan semua barang di kamarnya dan melampiaskannya pada pekerjaan, pikirannya masih belum tenang. Dia masih tidak bisa mengerti mengapa dulu Putri tidak membiarkannya memiliki pilihan hanya karena satu kalimat bodoh yang bahkan tidak sungguh-sungguh dia maksudkan untuk seumur hidup. Tari kehabisan kata-kata. Dia memukul bahu Aji keras sambil mendorongnya keluar dari lobby.