Bagas menolak berbicara dan pulang bersamanya. Putri terpaksa pulang ke rumah sendirian. Bapak menenangkannya dengan mengatakan akan mencoba membujuk Bagas agar pulang ke rumah dan menyelesaikan masalah yang sedang terjadi.
Putri membelokkan mobilnya menjauh dari perumahan bapak. Sepanjang perjalanan dia mulai mengingat kembali semua kenangan manisnya bersama Bagas yang sempat terlupakan saat hatinya dipenuhi dengan amarah dan keinginan kuat untuk bercerai.
Setelah Bagas berbaik hati datang ke kantor Putri untuk mengantarkan dompetnya yang hilang, pertemuan mereka pun berlanjut. Bagas sering menghubungi Putri jika berada di sekitar kantor perempuan itu dan mengajaknya makan bersama. Putri juga melakukan hal yang sama. Dia selalu teringat Bagas jika ada urusan di sekitar kantornya. Pertemanan pun terjalin secara alami. Cerita tentang kehidupan mengalir begitu saja. Termasuk membahas tentang percakapan pertama mereka saat berada di depan butik gaun pengantin.
“Sebenernya udah mau nanya dari kemarin-kemarin. Tapi aku takut kamu anggap ga sopan," ucap Bagas.
“Tanya apaan?” Putri sibuk dengan mie ayam yang baru selesai diaduk.
“Inget nggak kamu bilang soal batalin gaun? Beneran batal?”
Putri menatap tajam ke arah Bagas. Satu pertanyaan cukup untuk membuatnya kembali mengingat semua kesulitan yang dia dapatkan selama berbulan-bulan setelah membatalkan pernikahan karena kegilaan Aji. Gosip di kantor masih terus bergulir setiap ada momen mencekam yang tercipta begitu saja saat Putri dan Aji berada dalam satu ruangan. Putri menggelengkan kepalanya kuat kemudian mengibaskan tangannya berusaha terlihat santai.
“Nggak usah dibahas. Udah berlalu," jawab Putri.
Bagas tertawa melihat ekspresi wajah menyeramkan Putri tidak sinkron dengan ucapannya yang mengatakan sudah berlalu.
“Aku tau ya itu hal memalukan. Tapi kamu nggak boleh menertawakan kesialan di hidup aku," protes Putri. Namun kekesalannya tiba-tiba saja menguap saat satu sendok mie ayam favoritnya masuk ke mulutnya.
“Ini serius enak banget mie ayamnya. Cobain deh!” lanjut Putri. Bagas mengangguk menuruti perkataan Putri.
“Iya, enak!”
“Iya kan. Aku nggak ngerti kenapa semua orang bilang aku berlebihan.”
“Nggak sesuai sama selera mereka mungkin. Tapi ini enak banget.”
Putri mengajak Bagas makan mie ayam Mas Ngantuk yang mangkal di perumahan tak jauh dari kantornya. Meski tempatnya tidak terlalu bagus, tapi rasa mie ayamnya sangat enak. Setidaknya begitulah menurut Putri. Ini adalah pertama kalinya dia mendengar orang lain selain dirinya mengakui bahwa mie ayam Mas Ngantuk seenak itu. Seketika Putri melupakan pertanyaan menyebalkan Bagas yang memicu ingatan buruknya. Tak ada yang bicara. Baik Putri maupun Bagas disibukkan dengan mie ayamnya masing-masing.
“Aku harus langsung ke kantor. Kamu?” Putri mengeluarkan uang untuk membayar.
“Aku juga balik ke kantor. Masih ada kerjaan. Thanks, udah traktir mie ayam terenak," ucap Bagas tersenyum tulus. Putri yang sudah mulai membiasakan diri dengan ketampanan Bagas, merasa sangat lemah saat laki-laki itu tersenyum.
“Pokoknya kalau lagi ada di sekitar kantor aku, kabarin aja," balas Putri.
“Ayo aku antar sampai halte bus di depan!” lanjutnya menawarkan tumpangan pada Bagas.
“Oya, kenapa nama mie ayamnya, mie ayam Mas Ngantuk. Aneh banget.” tanya Bagas.
“Kamu nggak liat muka mas-masnya? Sayu banget kayak orang ngantuk kurang tidur semalaman," jawab Putri.
Bagas terkekeh dan langsung duduk nyaman di jok mobil Putri.
Putri memasuki perumahan tempat mie ayam Mas Ngantuk mangkal. Dia melajukan mobilnya perlahan. Tempatnya berada di ujung jalan yang memiliki celah tembus jalan pintas ke perkampungan di belakang perumahan. Dia celingukan.
“Udah nggak jualan rupanya," gumam Putri.
***
“Lestari! Ini jam tangan siapa? Kamu bawa laki-laki ke rumah?” Putri terkejut melihat jam tangan laki-laki di meja makan sahabatnya. Tari terlihat agak kikuk. Wajahnya memerah.
Putri mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.