Putri melepaskan sepatunya di depan pintu, merapikan jilbab dan rok panjangnya sebelum masuk ke rumah bapak. Putri terkejut tiba-tiba melihat Lili berlari sambil menangis histeris. Perempuan itu langsung memeluk bungsunya erat. Dhiya muncul menyusul adiknya.
“Kenapa, Kak? Kok adiknya nangis sampe kayak gini?” tanya Putri.
“Lili minta cokelat. Aku nggak kasih. Bunda bilang Lili nggak boleh kebanyakan makan cokelat. Dia seharian udah cokelat terus, Bun," jawab Dhiya. Putri menepuk-nepuk kepala Dhiya pelan.
“Makasih ya, Sayang. Udah bantu bunda jagain adik," ucap Putri. Dhiya tersenyum. “Kakung mana?”
“Di kebun.”
“Kalau Ayah?”
“Biasa. Main laptop, Bun.”
Dhiya kembali berlari ke belakang. Dia senang membantu Kakungnya berkebun. Putri mencoba menenangkan Lili dan menyeka air matanya.
“Sikat gigi sama bunda terus bobo siang, ya!” ucap Putri. Lili mengangguk. Air matanya masih mengalir tapi dia berhenti histeris.
“Zain mana ya? Adik tahu nggak abang di mana?”
Lili mengangguk. “Sama ayah di kamar.”
Putri menggendong Lili masuk ke kamar. Zain fokus dengan ponselnya dan Bagas tak melirik sama sekali ke arahnya. Perasaannya terluka, tapi Putri mencoba menahannya. Dia berhak mendapatkan perlakuan seperti itu dari Bagas setelah semua yang sudah dilakukannya kepada suaminya itu. Putri membantu Lili di kamar mandi kemudian mengganti pakaiannya yang sudah kotor dan basah oleh keringat. Lili beranjak ke kasur dan merangsek ke tubuh ayahnya mencoba menggeser posisi Zain yang nyaman. Zain memberengut, tetapi masih sibuk dengan game online-nya. Bagas tersenyum dan mengusap punggung Lili.
“Mau bobo siang?” tanya Bagas.
“Iya. Mau sama Ayah.”
“Ya udah Ayah usapin. Bobo ya.”
Putri menatap wajah Bagas lekat. Lebam di wajahnya berkurang. Penampilan mengerikan yang dilihatnya kemarin sudah membaik.
“Surat gugatannya dikirim ke alamat rumah ini aja," ucap Bagas.
“Bagas, aku —”
“Nggak ada lagi yang mau aku bicarakan. Aku harap kamu segera proses perceraian yang sangat kamu inginkan itu. Aku udah selesai sama masalah ini.”
Putri merasa tertampar oleh ucapan Bagas. Itu adalah kalimat yang setiap hari selalu dia katakan pada dirinya sendiri. Putri merasa sudah selesai atas semua sikap egois Bagas. Dia tidak bisa bertahan di pernikahan yang menyakitkan itu. Perempuan itu tak menyangka ternyata mendengar kalimat yang sama diucapkan oleh orang lain terasa lebih menyakitkan.
“Aku minta maaf atas semuanya, Bagas. Aku sudah mengkhianati kepercayaan kamu. Meski nantinya kita tetap bercerai, aku cuma mau bilang kalau saat aku menyampaikan hal itu ke kamu, bukan karena penawaran yang Aji kasih ke aku. Demi Tuhan aku nggak pernah menerima apapun dari dia. Aku sama dia udah lama selesai," ucap Putri sungguh-sungguh.
Bagas tak meresponnya. Zain menoleh ke arah bundanya. Meski tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang tuanya, tapi Zain bisa merasakan kesedihan dari sorot mata ayah dan bundanya yang saling memalingkan wajah.
Putri keluar dari kamar menyusul Dhiya yang sedang membantu bapak berkebun.
“Bisa bantu Bapak ambil pot warna putih itu, Nak?” pinta Bapak saat melihat sosok Putri. Perempuan itu mengangguk dan tersenyum.