“Anak-anak mana?” tanya Bagas. Dia hanya melihat Putri yang duduk serius di sofa tanpa anak-anak.
“Aku antar mereka ke rumah papa.”
“Kenapa? Bukannya mereka harus sekolah besok?”
“Dhiya tadi nangis karena dia tahu kita mau cerai," ucap Putri. Bagas menaruh tas kerjanya di meja dan berjalan ke dapur. Dia memanaskan air di kompor.
“Bukannya itu risiko yang udah kamu pikirkan pas minta cerai ke aku?” sahut Bagas sambil menuangkan air panas ke dalam gelas yang sudah diisi teh dan gula. Selesai menyeduh teh, dia duduk dengan santai di hadapan Putri.
“Iya, tapi aku nggak nyangka rasanya sesakit ini liat Dhiya nangis sampe sesenggukan.” Putri mengusap wajahnya.
“Jadi kamu mau aku gimana?” tanya Bagas.
“Aku udah tiga kali pergi ke konselor beberapa waktu lalu. Aku mengungkapkan semua yang aku rasakan. Kemarahan. Penyesalan. Lalu sampai di titik buntu di mana otak aku nggak bisa menemukan lagi kalimat yang pas untuk menggambarkan hubungan kita. Awalnya, aku bercerita tentang kemarahan aku saat kamu menolak untuk membantu aku pas butik kesulitan. Kemudian kemarahan karena terjebak pinjol dan saat tahu kamu malah tutup butik. Lalu masalah-masalah kecil tentang parenting anak yang membuat aku mudah tersulut dan kelelahan secara emosional. Kamu yang selalu kesal sama kenakalan anak-anak dan bilang kalau mereka seperti itu karena aku. Semua itu tumpah berakhir jadi kalimat yang anehnya justru lebih menyakiti hati aku daripada sebelumnya.” Putri mencoba membicarakan perasaannya pada Bagas.
Bagas menyesap tehnya dengan tenang. Dia tidak pernah melihat Putri menyampaikan perasaannya dengan baik seperti saat ini. Perempuan itu selalu sinis dan menghindar lalu tiba-tiba marah-marah sambil berteriak dan menangis. Tanpa Putri sadari, suaminya tersenyum kecil mendengarkan dengan baik semua perkataannya.
“Aku tahu yang akan aku katakan nggak akan mengurangi rasa sakit kamu yang terlanjur aku torehkan di hati kamu. Aku juga tahu betapa terpukulnya kamu atas semua masalah aku. Tapi aku sungguh-sungguh menyesal dan minta maaf, Bagas. Konselor selalu bilang di beberapa kesempatan kalau sebenarnya hati aku tau jawaban dari semuanya. Hanya aku yang terlalu buta untuk melihatnya dengan baik. Apapun keputusan akhirnya, aku sungguh-sungguh mau minta maaf dengan benar ke kamu," lanjut Putri.
Putri merasakan kelegaan luar biasa di hatinya. Dia belum pernah merasa dalam keadaan sebaik ini sejak hidupnya disibukkan dengan urusan pekerjaan dan anak. Juga saat direpotkan oleh proses mewujudkan impiannya. Kali ini senyumnya mengembang. Perasaannya menjadi lebih ringan. Bagas meletakkan gelas teh, menggamit tas kerjanya dan beranjak menuju kamar meninggalkan Putri untuk menikmati kebebasannya. Sejak awal, Bagas tidak pernah sanggup bercerai dari Putri. Itu sebabnya dia mengulur waktu dengan pergi dari rumah dan berperan sebagai suami dan ayah yang tidak bertanggung jawab.
***