Sudah tiga jam berlalu sejak dia diculik paksa oleh Si Sangar, namun belum ada tanda-tanda mobil yang membawa Dina berhenti. Mulutnya sudah mati rasa karena terus menganga. Tangannya kesemutan parah karena selalu terikat. Ketiga laki-laki di dalam kendaraan itu, yaitu Si Sangar, pria yang mengikat lengannya, dan pengemudi di kursi depan tampaknya tidak pernah menghilangkan pandang dari dirinya. Dina benar-benar terperangkap.
Meskipun demikian, bukan berarti dia tidak mencari cara untuk kabur dari mereka. Sepanjang perjalanan, dia selalu mencuri dengar percakapan yang dilakukan oleh dua pria menyeramkan itu. Dia bahkan mencoba menyimpannya di kepala. Tapi, tidak banyak informasi yang dia dapatkan selain nama Bastian yang terus disebut-sebut.
Mobil yang ditumpangi oleh Dina berbelok ke sebuah pekarangan luas yang dilengkapi kolam air mancur di tengah-tengah. Walaupun penasaran ke mana dia hendak dibawa, Dina sudah belajar untuk tidak terlalu memanjakan rasa ingin tahunya. Dari panas di pipi dan dahinya yang tergores, Dina tahu bahwa untuk menghentikan siksaan adalah dengan belajar untuk diam saja. Dengan dada berdegup kencang, dia hanya mampu memejamkan mata sambil berdoa agar dia masih diberikan keselamatan menghadapi apapun yang ada di depannya nanti.
Mobil berhenti. Si Sangar dan laki-laki yang mengikat tangannya keluar dari kendaraan itu. Dina ditinggal bersama supir yang dia tahu tidak akan alpa mengawasinya. Selama di mobil saja, pria yang ditugaskan menyetir itu tidak pernah bersuara. Jadi, sia-sia saja kalau Dina berharap Pak Supir adalah orang baik yang akan membantunya. Dina lalu bergeser ke arah jendela untuk mengetahui di mana keberadaannya.
Matanya tertumbuk pada sebuah istana. Ya, memang bukan benar-benar istana karena itu hanya ada di cerita dongeng, bukan? Tapi rumah besar itu setara dengan tempat tinggal para pangeran dan putri. Jendelanya banyak dan besar-besar. Eksteriornya berpadu antara batu bata ekspos berwarna cokelat gelap dan dinding yang dicat cokelat muda. Dari pengamatan Dina, sepertinya rumah itu terdiri dari dua lantai dan atapnya tinggi dengan beberapanya yang didesain berbentuk kerucut. Jika saja tidak dalam keadaan tangan dan mulut terikat, Dina akan melantunkan pekikan kekaguman.
Dari jendela mobil, Dina menyaksikan Si Sangar sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Laki-laki, tingginya tidak melewati tubuh Dina, rambut kecokelatan yang dipotong bergaya belah tengah. Dia menduga pria itu masih muda, paling-paling tidak lebih tua dari umurnya.
Ups, laki-laki itu memergokinya. Refleks, dia menundukkan kepala. Padahal, kaca jendela mobil yang segelap malam tidak memungkinkan wajahnya terlihat dari luar. Tidak berapa lama kemudian, Si Sangar membuka pintu kendaraan roda empat itu dan menyeretnya.
***
Dina dibawa ke sebuah ruangan yang tidak terlalu besar dan penuh barang-barang. Dia menduga kamar itu adalah gudang. Namun, peletakan benda-bendanya sangat berantakan dan sungguh tidak mencerminkan dengan penampakan luar rumah bak istana mewah yang dia saksikan tadi.
Pria berambut kecokelatan menatapnya tajam. Dina balas membelalakkan mata. Walaupun situasi menempatkannya sebagai korban, dia tidak mau membuat laki-laki itu menikmati kekuasaannya.
“Pak Indra itu ayahmu?”
Dina tidak menggeleng tidak juga mengangguk. Sekuat tenaga dia menahan nyeri di giginya yang diakibatkan oleh mulutnya yang terus menganga.
“Lepas!”
Si Sangar mematuhi perintah tuannya. Sebaik mulut Dina terbebas dari sapu tangan basah itu, dia berteriak, “TOLOOONG!”
Kekeraskepalaannya berbuah tempeleng. Lengkaplah sudah tanda merah di pipi kanan dan kirinya. Menemani bekas lipstik dan riasan mata yang sudah coret-moret di wajahnya. Dina oleng dan tersungkur. Dia menahan beban tubuhnya dengan kedua telapak tangan lalu mengerjapkan kelopaknya.