Sesuai yang diperintahkan oleh Mbok Surti, gadis itu berdiri tepat di samping meja yang penuh dengan hamparan makanan. Bukan, bukan dia yang menatanya. Memang benar informasi dari Mbok Surti. Ada koki khusus yang menyiapkan semuanya.
Mbok Surti memindahkan gelas dari meja makan utama dan mengembalikannya kepada Dina. “Nona Wendy nggak minum jus nanas, Nduk.”
Dina menggantinya dengan gelas yang berisi jus kiwi dari pada apel dan jeruk yang juga tersedia di sana. Mbok Surti menyetujui pilihan itu. Tepat pada saat asisten rumah tangga itu meletakkan jus di meja, ketukan langkah kaki terdengar memasuki ruang makan.
“Nona Wendy,” sapa Mbok Surti sambil menarik sebuah kursi. “Mau roti?”
“Papi kan belum datang.”
“Tapi Nona nggak boleh kelaparan.”
“Tenang, sebentar lagi dimulai, kan?” Wendy mengusap-usap perutnya.
Ucapan Wendy terbukti karena setelah itu terdengar langkah kaki baru. Cepat-cepat Mbok Surti mendekati partisi penghubung yang bergaya arch dan bersuara, “Tuan….”
Sapaan Mbok Surti terhenti. Dina menoleh ingin mengetahui penyebabnya. Di sana, berdiri seorang laki-laki yang lebih tinggi dari dirinya. Rambutnya yang hitam dipotong pendek crew cut. Bulu-bulu halus di atas bibir dan dagunya semakin menambah daya tariknya. Hidung laki-laki itu tinggi dan meruncing. Bibirnya tidak tebal namun juga tidak tipis dengan sudut yang menukik sehingga tampak selalu tersenyum.
“Mbok, ini aku. Mas Leo, bukan Tuan Krabs.”
“Spongebob kali,” sahut Mbok terkekeh-kekeh sambil memukul pelan bahu laki-laki yang dipanggil ‘Mas Leo’ itu. Oh, jadi ini anak pertama Pak Hidayat Armadjati, batin Dina. Dia menikmati interaksi antara Leo dan Mbok Surti yang penuh canda.
Mendadak, terdengar dehaman yang bikin Mbok Surti menghentikan candaannya. Asalnya dari Wendy pertanda gadis itu butuh perhatian. Oleh karenanya Mbok Surti bertanya, “Mbok siapin sup, mau Non?”
Wendy menggeleng. “Tunggu Papi sama Mami aja.”
“Kalau gitu, Mbok panggil, deh.”
Dina membuka mulut untuk mencegah Mbok Surti pergi. Bukan apa-apa, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya? Kabur? Dia masih belum tahu jalan keluar dari rumah ini dan sudah terlambat untuk menyusul Mbok Surti. Tidak ada jalan lain selain mematung.
“Selamat, Wen.”
“Mas Leo nggak datang.”
Leo mengedikkan bahu. “Yang penting kan hadiahnya sampai.”
“Nggak.”
“Hadiahnya nggak sampai?” tanya Leo sambil duduk di kursi di hadapan Wendy. Malang bagi Dina karena itu berarti laki-laki itu bebas menelitinya dengan jangkauan penglihatan 180 derajat.
“Bukan itu.”