“Siapa?”
Dina tidak mengenali suara itu. Tapi yang jelas, dia ketahuan. Dari balik selimut, matanya melirik ke kiri dan kanan. Hanya tinggal dua langkah dia sampai ke teras yang pintunya sudah terbuka. Dina lalu mengambil ancang-ancang untuk berlari.
Sekonyong-konyong teriakan, “Berhenti!” memenuhi udara dan selimut yang menutupi Dina terlepas. “Nyi Roro Kidul?” sambung pemilik suara misterius itu.
Dina tahu dia diduga seperti tokoh legenda itu karena kebayanya yang berwarna hijau. “Bukan,” bisik Dina ketakutan.
Tidak berapa lama kemudian, lampu menyala. Sekarang, Dina dapat mengetahui siapa yang telah menggagalkan rencananya untuk kabur dari rumah ini. Leonardo.
“Ah, asisten yang….”
Kalimat yang terhenti itu membuat gadis itu kesal. Orang seperti Leonardo memang seperti ini. Mentang-mentang kaya, mereka tidak merasa perlu mengenal pekerja yang status sosialnya di bawah mereka. Sekalian saja perlakukan mereka seperti narapidana yang hanya dipanggil berupa angka saja.
“Saya Leo. Kamu?” sapa laki-laki itu sambil mengulurkan tangan. “Tadi pas dinner kita belum kenalan.”
Wajah Dina memerah. Dia malu karena sudah salah sangka. Leonardo benar. Sepanjang makan malam tadi, dia tidak pernah mengucapkan kalimat apapun. Akhirnya dia bisa mengenalkan diri, “Dina,” katanya.
“Nggak bisa tidur?” tanya laki-laki itu.
Dina menoleh ke arah teras dan Leo secara bergantian. Bahunya melorot dan kepalanya tertunduk. Bukan hanya usahanya kabur dari tempat ini gagal, melainkan dia pasti harus menghadapi hukuman karena itu. Tinggal tunggu laki-laki di hadapannya ini melaporkannya kepada Bastian.
Seketika dia teringat ayahnya. Bagaimana kalau justru Ayah yang menanggung akibat dari sikapnya yang membangkang ini? Dina menggeleng-gelengkan kepala. Tidak, jangan sampai ayahnya harus dipukuli karena ulahnya. Dia sudah pasrah karena tidak dapat memberikan alasan yang bagus mengapa dia ada di teras dapur tengah malam begini.
“Saya mengerti. Tidur pertama kali di tempat baru, pasti sulit.”
Itu bisa jadi alasan yang bagus, pikir Dina. “Iya, aku pikir cari angin dulu biar bisa tidur.”
“Kamu tahu apa yang lebih manjur? Susu panas.”