Pinjol Pocalypse

Rexa Strudel
Chapter #1

#1: Teman Seperjalanan

Diko duduk di trotoar retak. Ia meluruskan kaki yang terasa pegal bukan main. Jarak ke ibukota yang seharusnya bisa ditempuh selama enam atau tujuh jam dengan bus, sekarang jadi lebih panjang. Diko tidak ingat lagi sudah berapa lama ia berjalan. Lima hari. Seminggu. Atau mungkin lebih dari itu. Kondisi jalanan yang rusak parah atau tergenang air sehingga tidak bisa dilewati membuatnya harus memutar mencari jalan lain. Belum lagi jika cuaca tidak bersahabat. Itulah beberapa hal yang menyebabkan waktu perjalanan jadi terurai panjang.

 Begitu membuka ransel, Diko menghitung perbekalan. Ada enam botol air mineral ukuran sedang yang masih tersegel utuh. Tiga bungkus ukuran sedang biskuit kelapa juga masih tersisa. Lalu ada tiga bungkus keripik kentang, dua bungkus biskuit dengan krim vanila dan beberapa batang cokelat. Ia menenggak habis satu botol yang berisi seperempat air, lalu menjejalkan botol air kosong itu ke bagian bawah tas.

 Diko berusaha cermat mengkonsumsi bekal. Pemuda itu tidak tahu berapa lama lagi waktu yang ia butuhkan untuk sampai di tujuan. Ia ingat betul ketika Pak Salim – pemilik mini market di dekat rumah – memaksa untuk mengisi ransel Diko dengan makanan dan minuman. Pak Salim memang terkenal baik dan murah hati. Meskipun dalam kondisi kesulitan sehabis bencana seperti ini, Pak Salim tetap dengan sifatnya tersebut. Bahkan Pak Salim membagikan isi mini market kepada orang-orang yang selamat di sekitarnya. Termasuk Diko.

 Pikiran pemuda itu menerawang kembali ke kejadian bencana hari itu. Gerimis tipis turun sejak menjelang fajar. Angin yang bertiup mampu membuat pepohonan bergoyang cukup kencang. Gemerisik dedaunan berdesis keras. Beberapa jam kemudian, hawa panas menyergap. Lantas secara tiba-tiba bumi berguncang hebat. Semua orang berhamburan keluar rumah. Rasa panik, bingung dan ketakutan menyebar di udara.

 Suara dentuman guntur, gemuruh gerakan lempeng bumi dan teriakan putus asa manusia bercampur ruah. Angin kencang yang berputar juga tampak di kejauhan, menggilas semua yang berada di jalurnya. Awan gelap, asap dan abu yang menyelimuti atmosfer menambah suram suasana kehancuran ini. Semua bangunan hancur atau roboh. Pepohonan tidak ada yang tegak. Permukaan tanah kacau balau, ada yang berlubang dalam sampai tak terlihat dasarnya, ada pula yang mencuat terangkat. Ia sempat berpikir inilah akhir kehidupan. Semua makhluk mati dan segala hal musnah tak bersisa.

 Tapi kenyataannya, Diko masih bernapas sekarang ini. Dan juga beberapa orang lain di sekitar tempat tinggal Diko. Sampai sekarang ini, semua orang selamat tidak mengerti apa yang telah terjadi. Apakah semua ini murni bencana alam? Atau ada senjata pemusnah massal dilepaskan? Mungkinkah ada meteor menerjang bumi? Apa hal ini hanya terjadi di wilayah tempat tinggal mereka saja atau di tempat lain juga?

 Beberapa hari setelah bencana, tidak ada bantuan atau liputan media datang seperti biasa jika terjadi sesuatu. Semua orang selamat mencoba bertahan hidup sebisanya dari apa yang tersisa. Saling membantu dan mengumpulkan makanan, air atau apapun yang masih bisa digunakan.

 Diko sempat membatin, untung saja ini tidak seperti di film-film fiksi yang sering ditontonnya. Kalau di film, setelah bencana seperti ini orang-orang selamat membentuk kelompok-kelompok dengan senjata api dan ingin menguasai sumber daya yang tersisa. Atau ada juga virus dan penyakit yang membuat orang mati bangkit dan memakan orang yang masih hidup. Pemuda itu bergidik ngeri ketika bayangan hal-hal tersebut melintas kembali di pikirannya.

 Lamunan Diko buyar ketika ia mendengar suara sayup-sayup. Seperti suara orang minta tolong. Ia merapatkan resleting ransel dan menggembloknya kembali di punggung. Jantungnya mulai berderap mencari- cari sumber suara. Dengan mengabaikan kaki yang ngilu dan pegal, Diko berkeliling dan ikut berteriak menimpali suara yang didengarnya.

 “Di sini! Kami di sini!”

 Kaki Diko melangkah ke pinggir aspal yang runtuh mendengar asal suara yang semakin dekat. Tubuhnya condong ke depan untuk melihat ke bawah. Ada tiga orang selamat yang berteriak dan melambaikan kedua tangan kepadanya. Dua pemuda dan satu gadis, mereka tampak panik dan pias. Ada rasa berdesir lega di dada Diko melihat ketiga orang tersebut masih tegak berdiri yang berarti masalah evakuasi tidak akan jadi begitu sulit. Jika ada orang terluka, otomatis ia harus memaksa kepala penatnya berpikir untuk mencari cara penyelamatan darurat.

Mata Diko menyapu sekeliling permukaan tanah yang runtuh membentuk lubang dangkal. Tidak ada pijakan atau apapun untuk bisa membuat ketiga orang tersebut naik ke atas. Ia juga tidak bisa mengira-ngira jarak dari atas sini ke bawah sana.

 “Tunggu! Aku akan cari sesuatu!” teriak Diko kepada ketiga orang di bawah sana. Ia melepas ransel untuk mengurangi berat dan mempercepat gerakan tubuhnya. Agak tergesa Diko berlari kecil memeriksa setiap reruntuhan untuk mencari apapun yang bisa digunakan sebagai alat bantu naik. Ia tidak bisa membayangkan jika lubang tadi kembali runtuh atau ada gempa susulan lagi seperti sebelum-sebelum ini.

Lihat selengkapnya