Pinjol Pocalypse

Rexa Strudel
Chapter #2

#2: Lanjut Ke Ibukota

Diko sudah hapal betul reaksi orang-orang selamat yang ditemuinya sepanjang perjalanan dari rumah sampai sejauh ini. Reaksi saat ia menjawab niatnya ke ibukota. Awalnya, ada rasa terbakar dan tertusuk dalam dada mendengar tawa dan cemooh orang-orang. Tapi lama-kelamaan, ia mulai belajar memilah dan mengabaikan hal-hal tidak penting. Diko menguatkan diri mengingat hutang yang tetap harus dilunasi.

 “Emangnya kantor dan karyawan pinjol itu masih ada?”

 “Ya, ampuun. Yakali udah ancur-ancuran gini masih ada orang inget hutang.”

 “Cara bayarnya gimana? Listrik sama sinyal ponsel aja nggak ada.”

 Begitulah celoteh Jono, Remi dan Farah disela-sela tawa mereka. Setelah beberapa saat, tawa ketiga orang tadi mulai mereda. Mereka ikut duduk sembari mengatur napas sambil sesekali masih tertawa pendek.

 “Itu hutang ibuku yang meninggal karena bencana ini. Aku nggak mau arwah ibuku nanti nggak bisa masuk surga karena tertahan hutang.”

 Sontak saja bibir Jono, Remi dan Farah bungkam sambil menahan napas. Mereka bertiga saling melirik lalu menatap wajah muram Diko dengan perasaan bersalah.

 Yang lekat dalam ingatan Diko, ia beserta ibu dan adik perempuannya sedang berlari menghindari tanah retak membelah lebar. Mereka tidak tahu arah tujuan, yang diinginkan hanya cari lokasi aman. Sementara permukaan tanah berkali-kali membentuk seperti gelombang kecil yang mengejar. Beberapa tempat seolah ditelan bumi, bangunan runtuh ke bawah begitu saja. Hilang ke dalam lubang yang ujungnya tak terlihat, membuat apapun yang berada di atasnya lenyap tak berbekas. Jantung Diko terasa sakit menyentak memompa darah lebih cepat dari biasanya. Keringat pemuda itu bercucuran, air mata hampir tumpah juga dari pelupuk mata melihat ibu dan adiknya menangis ketakutan.

 Kaki Diko sebisa mungkin melompat jauh melewati retakan tanah di hadapan. Setelah mendarat dengan aman di seberang, ia menjulurkan kedua tangan ke arah ibu dan adiknya, bermaksud membantu mereka untuk ikut melompat ke sisi tempatnya berdiri. Tapi apa daya, tanpa diduga retakan tanah makin melebar memisahkan mereka bertiga. Setiap jengkal kejadian tampak jelas di mata Diko, seolah waktu mendadak bergerak dalam gerakan lambat yang mematri kenangan buruk itu di otak. Tanah tempat ibu dan adiknya berpijak tiba-tiba saja luruh ke bawah saat ujung-ujung jemari mereka hampir bertemu dengan jemari Diko.

 Hati Diko mencelos. Desir panas dingin bersamaan mengalir di sekujur pembuluh darah. Wajahnya pucat pias. Dada Diko serasa sesak menahan gumpalan emosi dalam dada, membuat tarikan dan hembusan napasnya putus-putus. Seluruh jiwa pemuda itu seolah ikut jatuh dan menghilang di dasar sana bersama ibu dan adiknya. Tanah tempat Diko berpijak masih kokoh. Guncangan gempa pun sudah berhenti. Suara-suara gaduh sudah menyepi. Tapi entah kenapa Diko masih merasa kakinya oleng dan berayun. Pemuda itu jatuh terduduk lemas dengan tubuh gemetar.

 Kedua telapak tangan Diko menangkup kepala yang terasa pening dan berputar. Air mata mulai meleleh membuat pipinya basah. Ia masih tidak percaya apa yang terjadi. Diko memukul-mukul kepala sambil memejamkan mata, berharap ini semua mimpi buruk dan ia akan terbangun. Namun begitu membuka kelopak mata kembali, semua tampak sama saja seperti sebelum matanya terpejam barusan. Jadi Diko hanya bisa duduk termenung menatapi lubang menganga di hadapannya. Mungkin hatinya juga sekarang berlubang seperti itu.

 Lamunan Diko buyar tatkala mendengar suara berdehem pelan. Tanpa disadari, jemari Diko meraba tempat di mana hatinya berada. Ada rasa ngilu yang kembali teringat nasib Ibu dan adiknya.

 Remi menelan ludah menyingkirkan rasa tercekat di tenggorokan. “Ehm, maaf ya, Ko.”

 Sementara Jono beringsut mendekati Diko untuk merangkul dan menepuk pelan bahunya. Farah menunduk diam dan memainkan kutikel kuku di jemari.

 Diko sadar, sebenarnya bukan hanya dirinya yang mengalami kehilangan. Pasti Jono, Remi dan Farah juga merasakan hal yang sama. Entah kehilangan harta benda, keluarga, tempat tinggal dan lainnya. Tapi masing-masing dari mereka menyadari tidak ada yang berminat membahas masalah kehilangan lebih jauh sekarang ini.

 “Berati, tempat tujuan kita sama, ya,” suara serak Diko memecah kekakuan dan keheningan. Mata Diko terasa panas. Jadi ia hanya menatap lurus ke kejauhan. Pemuda itu menarik napas panjang, berharap rasa sesak di dada bisa merenggang.

 Remi bangkit. Kedua tangannya ia selipkan ke saku celana dengan wajah menghadap Diko. “Yuk, kita lanjutin perjalanan. Sebelum malam, kita udah mesti dapet tempat buat istirahat.”

 Kelopak mata Diko mengerjap beberapa kali. Ia bergantian menatap ketiga teman barunya. Kepala Diko mengangguk mantap, kemudian ikut berdiri.

Lihat selengkapnya