Setelah bencana ini, entah kenapa keanehan-keanehan cuaca sering terjadi. Seperti sekarang. Beruntung Diko dan teman-temannya cepat berteduh. Kalau tidak, sudah dipastikan nasib mereka bakal mengenaskan. Hujan yang turun memang berupa air. Tetapi dengan suhu cukup panas. Terlihat dari kepulan asap yang ikut turun bersama air dan udara panas yang memerangkap di sekitar mereka.
“Mungkin di sauna kayak gini rasanya,” keluh Jono. Sejak hujan turun, tangannya sibuk mengipasi diri dengan kipas tangan.
Farah melongo saat tadi melihat Jono mengeluarkan kipas dari dalam ransel. Sempat-sempatnya mikir bawa kipas tangan, batin Farah. Toh ia ikut tertawa juga bersama Diko, saat Remi meledek Jono soal kipas tersebut.
“Ini kayaknya gara-gara manusia dari dulu kebanyakan ngeluh soal dikasih hujan salah, dikasih panas juga salah. Terus ada yang bilang kalo nanti Tuhan kasih hujan air panas, baru tahu rasa. Kejadian deh sekarang,” gerutu Remi.
“Berarti ada kemungkinan terjadi hujan es beserta kulkasnya juga, dong?” Diko bersandar di tembok sembari bersedekap. “Dulu kalo malem minggu, pasti ada yang posting di sosmed berharap kayak gitu.”
Farah langsung meringis menatap Diko. “Yang bener aja, Kak. Ngeri amat kalo sampe ketiban kulkas.”
KITA BERCANDA, TUHAN SERIUS.
Diko ingat betul kata-kata nyinyir tersebut bertahun-tahun silam. Saat itu menjelang pergantian tahun, banyak orang menerbitkan tulisan status di media-media sosial soal harapan dan impian kosong yang sebenarnya mungkin hanya bisa dilakukan oleh segelintir orang. Misalnya ingin kalender yang banyak tanggal merahnya. Lalu belajar dan bagi rapot nggak perlu repot datang ke sekolah, cukup lewat daring saja. Lantas bekerja tidak usah keluar, cukup di rumah saja. Dan juga soal solusi kemacetan dan pemanasan global.
Akhirnya saat itu, terjadilah pandemi sebuah virus. Semua terbitan status media sosial tersebut jadi kenyataan. Pemerintah mengeluarkan peraturan yang membuat hampir semua orang tidak diperbolehkan keluar rumah atau pergi ke tempat umum jika tidak ada kepentingan. Tujuannya supaya mata rantai penularan dan penyebaran virus bisa terputus.
Tempat belajar ditutup, semua siswa dan mahasiswa belajar secara daring di rumah. Kelulusan semua peserta didik dilakukan secara daring juga. Jalanan lengang. Bebas dari kerumunan kendaraan yang biasanya menyemut dan merayap lambat. Hanya ada beberapa yang melintas cepat. Beberapa pekerjaan dilakukan di rumah saja bagi yang bisa. Selebihnya yang tetap harus bekerja di luar rumah bertaruh nyawa dengan ancaman ikut tertular atau membawa virus tersebut ke rumah. Terutama para tenaga medis dan karyawan rumah sakit atau klinik.
Beberapa orang mulai mencibir pada yang mengeluh bosan di rumah terus : TUHAN SUDAH REALISASIKAN SEMUA IMPIAN DI STATUS MEDSOSMU KETIKA PERGANTIAN TAHUN. MAKA, NIKMAT TUHAN YANG MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN?
Hujan kadang membawa ingatan akan sesuatu yang telah lalu atau yang biasa kita lakukan. Diko yang merindukan teh tubruk hangat serta singkong goreng ibunya tersaji. Remi membayangkan ia duduk di teras sambil mendengarkan lagu dari ponsel. Jono mengelus perut karena ia biasa membuat semangkuk mie instan rebus dengan telur dan potongan cabai ketika hujan turun. Dan Farah mengulum bibir mencoba mengingat rasa cappucino instan sasetan yang dibeli di warung dekat rumah.
Diko mengerjap, tersadar dari lamunan. “Kemarin-kemarin, kalian ngalamin hujan yang tetesan airnya besar, nggak?” tanya Diko memecah sunyi.
“Iya. Sampai kaget kita. Tetesannya kayak kucuran air dari selang karet berdiameter segini,” Jono mengacungkan ibu jarinya.
“Pas kena tetesan hujan itu kayak lagi pake alat buat ngilangin pegel di punggung. Yang bentuknya tongkat plastik pendek. Ujungnya bercabang lentur dan ada dua buah bola karet yang bisa mantul-mantul,” tutur Farah.
Remi tertawa pendek. “Tapi bedanya, kena air hujan gede itu bukan ngilangin pegel. Malah kayak lagi dipukulin orang sekampung. Kamu lihat kan bahuku kemarin jadi ada memar kebiruan.”