“Tidak pakai agunan. Tapi bunganya memang agak besar, jangka waktu dua puluh delapan hari. Syaratnya juga cukup mudah. Pakai nomer ponsel, foto KTP dan KK, juga ada foto diri sendiri.”
Begitulah kata-kata yang ibu Diko tirukan waktu itu dari bibi Diko, Fatmah. Fatmah – adik sepupu sang ibu, sudah hampir seminggu menginap di rumah Diko. Katanya sedang ambil cuti kantor. Jadi ia berniat pulang ke tempat kelahirannya ini. Karena ibu Diko selalu lemah lembut dan bermurah hati kepada setiap orang, apalagi saudara sendiri, Fatmah lebih memilih menginap di rumah Diko.
Belakangan Diko baru tahu ternyata Fatmah pulang kampung karena dikejar beberapa penagih hutang pinjaman online atau biasa disebut pinjol. Yang membuat Diko kesal setengah mati, Fatmah malah mengajarkan ibu Diko perihal berhutang secara online tersebut. Yang benar saja! maki Diko dalam hati.
Hanya sedikit yang Diko tahu soal pinjol. Dulu ia pernah mendengar sepotong-sepotong cerita beberapa orang dan temannya. Karena tidak ada minat berhutang – apalagi kepada rentenir modern macam itu, Diko malas mendengar lebih lanjut perihal pinjol. Berhutang saja sudah online, sebentar lagi pasti ada pesugihan atau santet online. Mudah-mudahan saja tidak ada azab online, batin Diko.
Diko tidak habis pikir, kenapa berhutang jadi sebegitu mudahnya. Berhutang sama saudara atau teman saja tidak bakal semudah ini. Cuma bermodalkan ponsel dan kuota internet. Tidak ada temu muka atau hitam di atas putih pula. Jaminan bukan berupa barang, tapi kesehatan mental dan nama baik. Jika alasan berhutang karena keperluan mendesak seperti masuk rumah sakit atau untuk modal usaha, itu bisa dimaklumi. Kalau ternyata berhutang untuk sekedar memenuhi gaya hidup konsumtif, buat apa coba. Nanti mengembalikan pinjaman bisa pontang-panting cari pinjaman lain. Jadi gali lobang tutup lobang istilahnya.
Logikanya, kalau untuk modal usaha setidaknya uang berputar dan pasti ada lebihan dari untung usaha tersebut. Nah, kalau hanya untuk konsumtif pasti uang akan habis begitu saja. Diko berasumsi, sepertinya Fatmah termasuk tipe yang berhutang untuk konsumtif.
Sementara ibu Diko merasa tertarik berhutang untuk membeli perlengkapan sekolah Dinda – adik Diko – yang akan masuk ke sekolah menengah pertama. Ayah Diko sudah lama tiada, sejak Diko kelas enam sekolah dasar. Jadi ibu Diko harus bekerja sebisanya untuk kebutuhan hidup mereka bertiga. Saudara dan kerabat yang tinggal di dekat mereka tidak bisa membantu banyak, karena rata-rata hidup mereka juga pas-pasan. Setelah lulus sekolah menengah atas, Diko mencoba melamar pekerjaan di beberapa tempat.
Fatmah tahu, uang Diko dan ibunya sudah hampir habis karena sebelumnya harus membiayai nenek Diko yang sakit-sakitan. Nenek tinggal di rumah Diko sejak sakit karena Diko mendapat pekerjaan yang lumayan. Walaupun cuma pegawai toko buku dan alat tulis dengan gaji berjumlah satu juta enam ratus ribu rupiah. Jumlah tersebut dipandang cukup besar di tempat tinggal Diko.
Ibu Diko bekerja di tempat produksi makanan tradisional. Sudah hampir lima tahun sang ibu bekerja tetap di sana. Sebelumnya, ibu Diko bekerja serabutan dengan menjadi buruh cuci baju, pengasuh anak dan sejenisnya semacam itu. Kalau digabungkan uang gaji Diko dan ibunya, jumlahnya sebenarnya cukup untuk sekedar membeli perlengkapan sekolah bagi Dinda. Tapi karena harus membiayai pengobatan sang nenek, jadi uang mereka hampir tak tersisa.
Setelah tahu sang ibu terlanjur berhutang di pinjol, jadilah Diko sering ikut nimbrung kalau ada yang membicarakan perihal tersebut. Perasaan Diko jadi was-was karena sering mendengar soal sistem denda pinjol bagi yang telat atau tidak bisa membayar pinjaman. Bunga pinjaman dikenakan per hari jika telat bayar. Bayangkan saja jika telat bayar sampai sebulan lamanya. Bisa lebih besar jumlah bunga pinjaman daripada jumlah pinjaman pokoknya saja.
Belum lagi cara penagihan yang meneror orang-orang yang dikenal si peminjam lewat telepon atau pesan di ponsel. Bagaimana bisa pihak pinjol tahu nomor-nomor kontak, foto-foto dan hal-hal pribadi di ponsel si peminjam? Berarti pihak pinjol menyadap ponsel si peminjam dong, ya? Bukannya itu termasuk kejahatan virtual? batin Diko.
Lalu bagaimana nanti jika ada penagihan pembayaran pinjaman melalui para penagih hutang? Diko juga pernah diperlihatkan beberapa berita di televisi dan media sosial soal orang berhutang pinjol yang sampai bunuh diri karena tidak tahan kena teror dari para penagih hutang. Ibaratnya kepala Diko jadi mules dan perutnya pusing kalau terus mengingat dan membayangkan hal tersebut jika terjadi pada ibunya.