Tawa pendek Remi, Jono dan Farah menyembur mendengar nama aplikasi yang disebutkan Diko. “Namanya to the point banget,” tukas Farah sambil terkikik geli.
“Biar gampang diinget kali,” balas Jono.
“Hmmh, nggak juga. Buktinya tadi aku malah nggak inget sama sekali kalau nggak kalian bantu sebut kata pancingan,” sergah Diko. Ia mengusap wajah dan mengucek mata untuk menghilangkan rasa kaku dan penat karena memaksakan berpikir tadi.
“Mungkin kamu baru lihat sekali atau sekilas. Jadinya nggak gitu nempel di pikiran,” ujar Remi yang dibalas anggukan Diko.
Jujur saja Remi kasihan dengan Diko yang sepertinya tidak begitu mengerti soal pinjol ini. Remi juga belum pernah ‘sih menggunakan aplikasi pinjol karena ia memang berusaha menghindari berhutang. Kartu kredit saja ia tidak punya. Walaupun banyak tawaran dan hampir semua teman-teman kantornya punya kartu kredit. Menurut Remi, kalau tidak butuh-butuh amat atau tidak mendesak diusahakan jangan berhutang. Apalagi kalau cuma mau buat gengsi dan gaya-gayaan tidak jelas.
Mau tak mau, Remi jadi ikut berpikir soal cara bayar pinjol ini nanti. Karena setahu Remi dari obrolan teman-teman di kantor, cara pembayaran harus dengan nomor akun virtual yang diberikan dari aplikasi. Setelah dapat nomer akun virtual, nanti bisa bayar melalui ATM, mobile banking atau kasir mini market. Nah, sekarang listrik dan sinyal ponsel tidak ada. Bahkan ponsel Diko tidak mau menyala. Mini market tempat mereka sekarang ini saja sudah tidak utuh, tidak tahu juga nasib pemilik dan karyawannya.
Remi tidak yakin jika keadaan ibukota lebih baik daripada apa yang telah mereka lihat sepanjang jalan. Pasalnya, tidak ada bantuan atau liputan media dan semacamnya dari ibukota. Helikopter atau pesawat terbang tidak terlihat di udara sejak bencana terjadi. Pasukan militer atau kepolisian pun tidak ada yang datang. Remi juga ragu jika kantor pinjol tersebut masih ada atau tidak. Kalaupun masih ada, masih beroperasikah? Bagaimana dengan karyawannya? Lagipula, apa nanti di ibukota terdapat listrik dan sinyal ponsel?
Sebenarnya apa penyebab terjadinya kehancuran ini? Apakah bencana ini hanya terjadi di beberapa wilayah, di seluruh negeri ini saja atau di seluruh dunia? Pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa terus bermunculan dalam pikiran Remi. Mungkin bukan hanya Remi, tapi juga dalam pikiran semua orang selamat. Tidak ada orang atau lembaga berwenang yang bisa ditanyakan seputar bencana ini.
Lalu soal Farah yang mencari ibunya, Remi sebenarnya sempat memikirkan skenario buruk jika sampai di ibukota nanti. Mencari seseorang di suatu tempat setelah bencana, tidak semudah yang dibayangkan. Belum lagi jika terjadi hal-hal tak terduga lain. Dan juga, bagaimana sikap Farah nanti jika ada kabar tidak baik mengenai ibunya? Apakah Farah bisa menerima jika sang ibu turut menjadi korban bencana dan tidak bisa ditemukan? Jujur saja, Remi yang anak tunggal tidak ada pengalaman dalam menghadapi kondisi terguncang dari seseorang seumuran Farah. Karena Farah juga lebih banyak diam, Remi jadi tidak bisa menebak-nebak reaksi gadis itu.
Sementara untuk Jono, Remi menilai kelihatannya anak itu cukup tegar. Yang Remi tahu, Jono bercerita bahwa ia hampir kehilangan semua anggota keluarga. Hanya tersisa kedua kakak Jono yang tetap tinggal di daerah asalnya. Jono juga sama seperti Remi. Mereka tidak betah duduk diam saja menanti-nanti kabar berita soal penyebab bencana ini. Apalagi mereka juga memikirkan bagaimana jika makanan dan air di lokasi penampungan mulai habis.
Saat tersadar dari hanyutan pikiran, Remi melihat Farah sudah memeluk lutut sambil bersandar di tembok sudut. Matanya terpejam rapat. Begitu pula dengan Diko yang tertidur di seberang posisi Farah. Sementara Jono berdiri dan memandang keluar jendela, kepalanya bergerak ke kanan dan kiri memantau sekitar.
Remi menggeliat meregangkan tubuh yang terasa pegal. Biar saja Jono bergadang seperti biasa. Kedua kelopak mata Remi juga sudah terasa berat. Ia memposisikan diri di sebelah Diko dan ikut terlelap.
~*~