Diko menatap kakinya yang melangkah lebar-lebar di atas bantalan rel kereta listrik. Rel kereta tersebut bengkok-bengkok dan patah di banyak bagian di atas permukaan tanah yang juga tidak beraturan serta retak-retak. Remi, Farah dan Jono mengikuti di belakang. Di sekitar mereka hanya ada hutan dengan pepohonan yang sebagian besar tumbang atau miring. Daun-daun pohon kebanyakan sudah mengering rontok. Hanya tersisa sedikit yang berwarna hijau. Rumput gondrong di sekeliling mereka pun berwarna kehitaman.
Kedua tangan Farah terentang menjaga keseimbangan tubuh saat kakinya menapaki batangan rel. Sesekali ia memekik pelan sambil melompat atau melangkahi batangan rel yang rusak. Baru kali ini ia bisa merasakan berjalan di sepanjang rel kereta tanpa khawatir akan tertabrak kereta yang datang. Ia masih ingat betul bibinya akan mengomel sepanjang-panjangnya jika Farah ketahuan bermain di rel di pinggir jalur kereta dekat terowongan bersama beberapa teman. Rel mati padahal, tidak dilalui kereta. Tapi tetap saja bibi berpendapat bahwa bisa saja ada setan lewat dan membuat orang tiba-tiba lompat ke depan kereta yang melintas cepat.
Jono yang merasa bosan dan lelah akhirnya menyalakan ponsel. Ia mengecek baterai yang masih tersisa sekitar delapan puluh persen. Tiba-tiba terpikir olehnya untuk membuat video perjalanan. Siapa tahu suatu hari nanti, video tersebut bisa dijadikan kenangan untuk mereka.
“Yak, selamat siang, para penggemar. Sekarang kita berempat lagi lanjut jalan ke ibu kota. Di sini dengan aku, Jo. Ditemani sama Diko. Hay, Diko,” Jono merekam sambil menyorot ke Diko. Diko cuma mengulum senyum dan mengangkat kedua alis.
“Terus ini ada Farah. Halo, Far,” Jono mengarahkan kamera ponsel kepada Farah di belakangnya. Farah melambai dengan antusias sambil tersenyum lebar.
“Terakhir ada Remi. Oke, bro,” Jono berhenti jalan dan menunggu Remi sejajar dengannya. Remi mengacungkan kedua jempol tangan. Cengiran lebar tampak di wajahnya.
“Jadi kita berempat punya tujuan khusus ke ibu kota. Diko mau bayar hutang ibunya. Farah mau cari bundanya yang kerja di sana. Nah, aku dan Remi mau cari tahu soal bencana ini,” oceh Jono sambil terus merekam.
Jono mengarahkan kamera ponsel ke sekitar mereka. “Ini keadaan setelah bencana. Sudah berapa minggu ini, ya? Mestinya dari setelah baru bencana aku bikin rekaman. Tapi malah baru kepikiran sekarang,” Jono menggaruk kepala. Tawa ketiga temannya langsung terdengar.
“Yaudah. Nggak apa-apa. Biar telat, yang penting sekarang ada rekaman,” lanjut Jono. “Sekarang kita lagi di jalur kereta antar kota. Kalian bisa liat, rel dan tanah sudah tidak beraturan. Pohon-pohon tumbang. Bahkan cahaya matahari nggak bisa sepenuhnya sampai ke permukaan tanah. Selalu kayak mendung,” Jono mengarahkan kamera ponsel ke berbagai arah untuk merekam gambar sekitar dan keadaan di atas.
Jono berdehem tipis sebelum lanjut bercerita ke kamera. “Jadi, tadinya kita berempat nggak saling kenal. Aku ketemu Remi duluan di kota sebelah tempat tinggalku. Yaudah kami akhirnya mutusin buat jalan bareng ke ibukota buat cari tau penyebab bencana ini,” Jono menyorot Remi di belakangnya.
“Lalu, aku dan Remi ketemu Farah di pengungsian kira-kira setelah jalan ngelewatin enam kota. Pas Farah denger kami mau ke ibu kota, dia langsung bilang mau ikut. Jadi ‘deh kita kayak roda bajaj, jalan bertiga,” tutur Jono yang disambut tawa teman-temannya.
“Lah, kamu aja yang roda bajaj, Jon. Aku sama Farah ‘sih nggak,” ledek Remi. Ia mengangkat alis ke arah Farah supaya meng-iya-kan.
“Terus kalo aku sendirian yang jadi roda, bajajnya nggak bisa jalan, dong,” balas Jono dengan suara dibuat-buat sedih.
“Ya udah. Bajajnya masuk bengkel berarti,” sahut Farah.
“Hmmh, gitu kita-kira cerita ketemu Remi dan Farah. Terus kami bertiga lanjut jalan lagi. Setelah beberapa hari, barulah kami ketemu sama Diko.”
“Diko yang nemuin kita, Jon,” ralat Remi sambil menahan tawa.
“Ah, iya,” Jono menjentikkan telunjuk kepada Remi. “Sebenernya, Diko yang nemuin kami bertiga. Soalnya waktu itu, tiba-tiba ada gempa. Tahu-tahu tanah tempat duduk kami bertiga runtuh ke bawah. Ampuun, bukan maen kagetnya,” ekspresi wajah Jono dibuat seperti benar-benar terkejut. Sebelah telapak tangannya ia taruh di depan dada.