Pinjol Pocalypse

Rexa Strudel
Chapter #7

#7: Di Gerbong Kereta

Tahu bagaimana rasanya saat melihat kematian orang-orang terdekat? Apalagi jika orang-orang tersebut merupakan korban – entah korban kecelakaan atau bencana alam seperti ini. Tidak ada orang yang berharap anggota keluarga atau orang terdekat mereka meninggal dengan cara tragis seperti itu. Apalagi jika yang menjadi korban adalah anak-anak.

Farah memungut sepatu kecil berwarna pink yang tergeletak di salah satu kursi penumpang. Hanya ada sebelah kanan saja. Di kursi juga ada sebuah tas berwarna pink bergaris putih dengan tempelan karakter kuda bertanduk di bagian depan tas. Ada tiga buah botol susu di kantong sisi tas. Ia pandangi sepatu kecil tadi, ukurannya sedikit lebih besar dari telapak tangan Farah.

“Mia…” desis Farah. Tanpa ia sadari, pipinya sudah basah. Ingatannya kembali ke hari terjadinya bencana. Detak jantung yang berderap kencang, perasaan sedih, takut, bingung dan kalut itu singgah kembali di dalam dada. Rasanya ngilu dan sesak.

Remi menghela napas tipis melihat Farah berdiri dengan tangan gemetar memegang sepatu kecil. Ia mendengar Farah menyebut sebuah nama. Mungkin Farah teringat seseorang saat melihat sepatu kecil itu. Karena situasi mereka sekarang ini belum bisa dipastikan aman, Remi tidak mau ambil resiko jika Farah tidak bisa diajak fokus jika terjadi sesuatu. Jadi, perlahan Remi ambil sepatu kecil tadi dari tangan Farah dan menaruhnya kembali ke kursi penumpang. “Itu bukan punya Mia. Kamu nggak kenal siapapun yang tadinya ada di gerbong ini,” ujar Remi lembut. Lalu ia mendorong pelan bahu Farah agar tetap berjalan ke depan. “Jangan terpaku sama hal-hal yang bikin sedih.”

Farah berjalan kembali ke depan gerbong dengan kepala tertunduk. Ia menghapus pipi dengan punggung tangan dan menarik napas panjang untuk meredakan emosi campur aduk yang tadi bergemuruh di hati. Kepala Farah rasanya jadi berat dan berkabut. Ia mengambil sebotol air dari dalam ransel dan meminumnya, berharap rasa sedihnya ikut luntur.

Mereka sampai di sambungan antar gerbong. Diko mengintip ke gerbong selanjutnya lewat kaca pintu. Di dalam gerbong itu juga kosong. Jadi perlahan Diko menggeser pintu dan diam sejenak, menunggu apakah ada pergerakan di dalam gerbong setelah mendengar derit pintu yang digeser tadi. Tak dipungkiri memang degup jantungnya berderap lebih cepat mengingat Jono tadi menyebut nama film tentang mayat hidup di kereta.

Ternyata di dalam gerbong tersebut juga sepi. Tidak ada orang atau hewan. Jadi Diko dan teman-temannya melangkah masuk. Jono yang berada paling belakang, langsung menutup dan mengunci pintu sambungan antar gerbong tadi. Lalu Jono mengekor ketiga temannya lagi. Diko sudah sampai di ujung depan gerbong. Ia mengintip lewat kaca pintu sebentar, kemudian menguncinya.

“Oke. Sementara kita istirahat di sini dulu aja. Daripada dikejar penagih – eh – serigala lagi,” ujar Remi.

“Lihat, deh. Masih ada koper dan tas di bagasi atas,” kepala Farah celingukan sambil menunjuk beberapa koper dan tas di atas kursi penumpang.

“Hmm… mungkin kita bisa cari baju di dalam tas. Lumayan buat ganti,” Diko mengendus pakaiannya sendiri. Ia mengernyit sambil tersenyum masam.

“Boleh juga idenya,” sahut Remi. Lantas mereka menurunkan tas dan koper dari atas bagasi dan mencari-cari pakaian yang sesuai. Begitu menemukan pakaian yang cocok, Remi dan Diko langsung berganti pakaian dengan cepat.

“Aduh, ada ukuranku nggak, ya?” Jono sudah mengaduk-aduk pakaian dari dalam dua tas. Ia menghembuskan napas keras-keras dan terduduk lunglai di kursi saat tidak menemukan pakaian untuknya.

“Sebentar kucarikan. Pasti ada, kok,” hibur Remi. Ia menyeringai lebar dan kembali mencari pakaian di tas lain.

Lihat selengkapnya