“Pintunya terbuka!” teriak Farah sekencang mungkin kepada Remi dan Diko di ujung gerbong lain. Ia dan Jono segera berlari keluar gerbong duluan. Mereka berlari mengikuti orang-orang berpenutup kain tadi ke depan rangkaian kereta. Remi dan Diko menyusul dengan cepat.
Angin di sekitar mereka terdengar menderu kencang. Banyak benda-benda kecil dan ranting pohon berterbangan. Debu dan butiran tanah merah kering memenuhi udara. Remi, Diko, Jono dan Farah terbatuk-batuk. Mata mereka pedih. Tapi harus memaksakan membuka sedikit untuk melihat ke arah mana orang-orang berpenutup kepala tadi.
“Cepat! Ke terowongan depan sana!” teriak pemuda yang membuka penutup kepala tadi. Ia menggerak-gerakkan tangan supaya Diko dan teman-temannya berlari ke arah yang dimaksud.
Jalur rel kereta itu mengarah masuk ke sebuah terowongan. Dinding dan tanah di sekitar terowongan tampak masih kokoh berdiri. Mereka semua sekuat tenaga berlari melewati ambang terowongan.
“Syukur. Ternyata. Aku. Masih. Kuat. Lari. Hhh…” ujar Jono terbata. Ia duduk merosot di tembok terowongan.
Remi mencondongkan setengah tubuh ke depan dan menopangnya dengan kedua telapak tangan di lutut. Ia juga sedang mengatur napas. “Kalau kamu nggak kuat lari tadi, aku niatnya mau gelindingin kamu aja sampai terowongan,” goda Remi. Farah dan Diko yang juga masih megap-megap bernapas, mau tak mau jadi tertawa tertahan mendengar perkataan Remi.
“Ayo, masuk ke dalam. Di sini nggak aman kalau tornado lewat,” ajak pemuda yang melepas penutup kepala tadi.
Diko dan teman-temannya langsung menoleh ke arah pemuda tersebut. Kira-kira ia lebih tua sedikit dari usia Remi. Raut wajah ramahnya dibingkai rambut hitam keriting gondrong di atas bahu. Badannya kurus tinggi dengan warna kulit pucat.
“Itu beneran tornado?” bola mata Farah membesar menatap pemuda tadi.
Pemuda tadi mengangguk. “Masih jauh. Tapi anginnya sudah seperti di jarak sepuluh meter,” terangnya. Ia melangkah perlahan ke pinggir ambang masuk terowongan. Kepalanya terjulur sedikit ke luar untuk melihat posisi dan arah tornado tadi.
Diko dan teman-temannya yang penasaran, ikut mengintip juga di belakang pemuda tadi. Mata mereka membelalak dan mulut ternganga begitu dapat melihat ukuran angin yang berputar kencang ke arah mereka. Gulungan angin berwarna abu-abu gelap tampak menyeramkan. Ditambah suara menderu kencang yang membuat bulu kuduk berdiri. Ada benda-benda di sekeliling gulungan angin. Melihatnya membuat Diko dan teman-temannya bergidik ngeri. Tidak terbayang jika manusia berada dekat angin tersebut.
“Hei, kita mesti masuk. Jaga-jaga kalau tornado mampir ke sini,” ajak teman si pemuda tadi. Ia sudah membuka tutup kepala dan kacamata yang dikenakan. Tampak wajah bundar dengan rambut hitam lurus rapi. “Ngobrol di dalam saja.”
Diko dan ketiga temannya saling melirik. Kemudian menganggukkan kepala kepada pemuda tadi dan temannya. Mereka berjalan menyusuri terowongan lebih ke dalam. Permukaan tanah, rel dan bantalan rel terlihat tidak beraturan. Makin ke dalam, keadaan makin gelap. Tidak begitu jauh, ada sebuah pintu di dinding sebelah kiri. Teman si pemuda tadi membuka pintu dan mereka masuk.
Di balik pintu ada tangga yang dihimpit dinding menuju ke bawah. Ukuran tangga cukup bisa dilewati dua orang secara bersisian. Senter-senter dinyalakan. Ujung tangga tersebut tidak begitu dalam. Kira-kira setelah lima meter menapaki anak tangga turun, ada sebuah lorong menuju ke kanan dan kiri.
“Sebelah kanan menuju ke dapur, ruang makan dan kamar mandi. Di sebelah kiri ada ruang berkumpul dan kamar tidur,” jelas pemuda tadi. “Oh, iya lupa. Namaku Toni. Kalau dia namanya Asrul,” pemuda tadi memperkenalkan diri dan temannya. Diko dan teman-temannya bergantian juga memperkenalkan diri.
“Di sini kami ada enam belas orang. Kalau cuaca sedang baik, kami sering mencari hasil ladang yang tersisa di wilayah dekat sini,” Toni mengajak Diko dan teman-temannya ke lorong kanan. Ada tiga orang perempuan dan dua laki-laki sedang menyiapkan makanan. Dua perempuan muda sekitar usia dua puluh lima dan satu lagi kira-kira berusia lebih dewasa. Sementara dua laki-laki tadi berusia sekitar awal tiga puluhan.
Asrul menyajikan air minum kepada Diko, Remi, Jono dan Farah. Ia menaruh sebuah kendi berukuran besar di meja dan beberapa gelas plastik.
“Kalian ‘kok tahu ada bunker ini?” pandangan Remi mengelilingi ruangan. Sepertinya memang ruangan ini sudah di tata sedemikian rupa agar bisa ditinggali.