Baru kali ini Diko, Remi dan Farah merasakan makan singkong dan ubi sebegitu nikmatnya. Apalagi bersama-sama dengan orang-orang selamat yang tidak mengedepankan emosi dan atmosfir murung atau sedih. Setelah bencana, mereka cuma makan apa yang mereka temukan di toko makanan atau mini market yang masih tersisa.
“Jono ini daya khayalnya tinggi. Mestinya kamu jadi penulis atau bikin film,” goda Mang Sani ketika mendengar soal pemikiran Jono ketika melihat mereka berlari memakai penutup kepala dan kacamata google.
“Lagian ini kita di Indonesia. Mana ada geng-geng bersenjata macem di film-film apocalypse pabrikan Hollywood,” seorang pemuda seusia Remi tertawa.
“Siapa tahu ‘kan geng-geng bersenjata post apocalypse di sini pakai kearifan lokal. Bawa kujang atau keris misalnya,” balas Jono dengan suara dibuat-buat lucu.
“Yahahaha. Ya, udah. Nanti kamu bikin film macem gitu aja. Pasti laku keraaad,” kata pemuda lain di sebelahnya sambil tertawa.
Setelah makan, beberapa orang meninggalkan dapur untuk beristirahat atau mengobrol di ujung lorong satunya. Hanya tinggal Mang Sani, Toni, Asrul, satu gadis dan dua pemuda lain yang menemani Diko dan teman-temannya.
“Kok di dalam sini nggak terasa pengap dan gerah, ya? Padahal nggak ada jendela, nggak ada kipas angin atau penyejuk udara,” tanya Jono. Ia membuka tas dan menimang-nimang kipas tangan yang selalu dibawa.
“Nggak ngerti juga. Apa karena lokasinya dekat pegunungan jadi sejuk gitu?” Toni malah balas bertanya.
“Kalau kalian mau mandi bisa bergantian. Asal setelah mandi, kalian harus mompa air lagi supaya air selalu tersedia,” kata Mang Sani.
“Nah, cewek duluan. Ayo, Teh, tolong temenin,” Farah bangkit berdiri dan mengajak si gadis untuk menemani.
“Kalian semua penumpang kereta yang di jalur rel di luar itu?” tanya Diko kepada Toni dan pemuda lain.
“Hmm, nggak semua. Dari kereta cuma ada sebelas orang. Lima orang lainnya dari kampung yang sama kayak Mang Sani,” jawab Toni.
“Tornado kayak tadi sering terjadi atau baru kali ini?” tanya Jono. “Aku baru lihat tornado secara langsung gitu,” celetuknya lagi.
“Baru dua kali sama hari ini. Yang pertama terjadi empat hari yang lalu,” jawab Mang Sani.
“Haduuh. Kira-kira ladang ada yang tersisa atau nggak, ya?” wajah Asrul tampak cemas.
“Berdoa aja mudah-mudahan masih ada rejeki buat kita bertahan hidup,” jawab Mang Sani dengan nada tenang.
“Kira-kira, tornadonya tadi ke pengungsian yang di dekat jembatan atau tidak, ya?” Toni mencubit-cubit dagu. Wajahnya menunduk dengan sorot mata menatap lantai beton.
“Yaah, kalaupun tornadonya ke sana, semoga orang-orang di sana sudah melihat dari jauh dan sudah menyelamatkan diri,” jawab Mang Sani lagi. Yang lain menyambut jawaban Mang Sani dengan kata ‘Aamiin’ panjang.
“Tuh, siapa lagi yang mau mandi?” Farah keluar dari ruangan kamar mandi. Ia tampak lebih segar dan tidak kumal lagi.
“Udah dipompa lagi belum airnya?” tanya Remi dengan suara meledek.
“Udah, dong,” jawab Farah sambil duduk lagi bersisian dengan gadis yang tadi menemaninya.
Diko, Remi dan Jono saling bertatapan, menimbang siapa duluan yang akan mandi.