Pinjol Pocalypse

Rexa Strudel
Chapter #10

#10: Setelah Tornado

Wajah semua orang di ruang santai berubah pucat pasi. Terlebih lagi, suara gedoran pintu semakin menjadi. Tubuh mereka seolah membeku dan kaki merekap terpaku di lantai. Tidak ada yang berani beranjak satu senti sekalipun. Ibaratnya, takut yang menggedor pintu akan mendengar gesekan alas kaki mereka di lantai bawah ini. padahal memang ruangan bunker pasti kedap suara. Di luar sana tidak akan ada yang mendengar apapun yang berasal dari dalam sini.

“Jadi gimana? Kita diemin aja atau buka?” tanya lelaki rambut pendek.

“Kalau pas dibuka beneran orang. Kalau bukan, gimana?” lelaki rambut ikal bergidik ngeri.

“Tapi gimana juga kalau ternyata itu pengungsi atau orang selamat lain yang mencari tempat berlindung?” lelaki rambut kuncir menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

Mang Sani menghela napas pendek mendengar segala pemikiran cemas di ruangan ini. “Gini aja. Satu orang temani saya buka pintu. Kalau ternyata di luar sana ada yang berbahaya, segera tutup pintu,” putusnya kemudian.

Seisi ruangan saling melirik dan diam. Tapi akhirnya mengangguk. Karena tetap saja mereka merasa harus membuka pintu karena kasihan jika benar ada orang selamat yang mencari tempat perlindungan.

“Biar sama saya aja, Mang,” Remi menawarkan diri dengan suara mantap. Meskipun dalam hati ia juga sama was-wasnya dengan yang lain.

“Oke. Ayo kita ke atas,” ajak Mang Sani cepat.

“Kami bakalan berjaga di sepanjang tangga. Biar gampang bertidak kalau terjadi sesuatu,” usul lelaki rambut ikal yang ditanggapi anggukan kepala oleh yang lain.

Dengan perasaan cemas dan jantung berdebar kencang, Remi dan Mang Sani melangkah perlahan menapaki tangga naik. Suara gedoran pintu masih terdengar. Tapi tidak sesering dan sekencang tadi lagi.

Mang Sani memberi isyarat kepada Remi sebelum ia memutar roda kunci pintu. Bunyi gedoran berhenti seiring derit roda kunci pintu yang berputar membuka. Mang Sani dan Remi sama-sama melempar wajah kalut yang pasrah sebelum mendorong keluar daun pintu agar terbuka.

Cahaya senter di tangan Remi menyorot ke sosok anak lelaki kecil setinggi perut Mang Sani. Anak tersebut menggendong balita lelaki yang terkantuk-kantuk. Ransel berukuran sedang yang tampak berat terpasang di punggungnya.

“Aji? Aji ‘kan?” begitu mengenali wajah anak tersebut, Mang Sani segera membuka pintu lebih lebar dan berjongkok sambil menggenggam kedua lengan si anak. Sepertinya anak ini berusia sekitar tujuh tahun.

“Iya, Mang. Semua tadi pada hancur kena angin gede,” tuturnya sedikit terisak.

Mang Sani segera membawa Aji masuk menuruni tangga. Sementara Remi kembali memutar roda kunci pintu sebelum ikut turun.

Mang Sani dan para lelaki lain segera membantu Aji. Si rambut ikal menggendong balita. Lelaki rambut kuncir melepas ransel dari pundak Aji. Mang Sani mendudukan Aji di kursi dapur. Sementara lelaki rambut lurus mencari handuk. Remi memeriksa termos air panas dan mendapatinya masih penuh. Jadi ia menuangnya ke dua gelas dan mencampurnya dengan air dari kendi.

Lihat selengkapnya