“Bagaimana? Ada yang selamat?”
“Gimana keadaan di sana?”
Berbagai pertanyaan semacam itu memberondong rombongan Mang Sani yang baru saja sampai di depan pintu bunker.
Mang Sani melepas jas hujan plastik yang dikenakan smebari memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan. “Besok saja kita semua yang laki-laki kembali lagi ke sana. Keadaan gelap begini lumayan susah buat evakuasi.”
Melihat rombongan Mang Sani yang kembali tanpa tambahan seorang pun dan mendengar kata ‘evakuasi’, membuat orang-orang tersadar bahwa memang tidak ada harapan selamat bagi siapapun dari terjangan tornado siang itu. Jadi, semua orang kembali masuk ke dalam bunker untuk istirahat dan menenangkan diri. Karena besok ada pekerjaan berat menanti mereka semua.
“Seharusnya kita kemarin berlari ke tempat pengungsian. Bukan langsung ke dalam bunker,” sesal Asrul. Ia duduk bersandar di pojok dapur sambil memainkan gelas kosong. Matanya menatap lantai beton dengan pedih.
Toni, Diko, Remi dan Jono hanya membisu. Mereka berlima masih tidak bisa tidur kembali dan memilih untuk duduk mengobrol di dapur. Sementara yang lain sudah masuk ke kamar, entah mereka benar-benar tidur atau sekedar merebahkan diri.
“Tapi setidaknya kita ketemu Diko dan teman-temannya. Jadi mereka berempat bisa selamat,” kata Toni mencoba menghibur.
Diko bergidik ngeri saat pikirannya menerawang kembali saat mereka di gerbong kereta kemarin siang. Jika saja Toni tidak melihat mereka, entah bagaimana nasib Diko, Remi, Jono dan Farah.
“Memangnya orang-orang di pengungsian ada berapa jumlahnya? Kenapa mereka nggak ikut tinggal di dalam bunker?” tanya Jono.
Toni menarik napas panjang sebelum menjawab. “Soalnya mereka takut tertimbun kalau pas ada gempa. Padahal beberapa kali ada gempa sampai kita semua di dalam sini panik. Tapi syukur bunker dan terowongan ini lumayan kuat,” jawab Toni. Ia mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangan.
“Nah, pas tornado pertama terjadi memangnya mereka tidak takut kalau ada tornado lagi dan bakal terbawa?” tanya Remi.
“Tornado pertama tidak sebesar kemarin siang. Hanya pusaran angin sedang. Itupun tidak lama dan bahkan tidak mendekati tempat pengungsian,” jawab Asrul. “Tapi kemarin saat tornado besar masih jauh, mereka harusnya sudah bisa antisipasi untuk lari, ya.”
“Atau mungkin mereka berpikir kalau tornado tidak akan menuju ke tempat pengungsian seperti sebelumnya,” Diko menerka-nerka.
“Mungkin. Padahal ada beberapa anak kecil juga di sana,” suara Toni terdengar sedih. Ia menghela napas sebelum melanjutkan. “Untung saja ibunya Aji bisa berpikir cepat untuk menyuruh anaknya ke terowongan.”
Beberapa saat mereka berlima hanya terdiam sambil melamun. Lama-kelamaan, akhirnya mereka tertidur juga di lantai dapur.