Remi terkesiap. Ia menelan ludah membasahi tenggorokan yang terasa kering kerontang. “Jadi gimana maksudnya buat solusi kartu ATM Diko?” tanya Remi dengan raut wajah bingung. Begitu pula mata Diko yang menatap Toni penuh sorot tanda tanya.
“Gini, mesin dan kartu ATM nggak mungkin bisa digunain, kan. Listrik juga nggak ada. Jadi, gimana kalo Diko ambil aja uang di sini sejumlah yang ada di rekening Diko?” Toni menatap satu-satu mata Diko, Remi dan Jono.
“Ngg, tapi bukannya ini sama dengan mencuri uang?” Diko menarik salah satu sudut bibir. Pangkal hidungnya berkerut menatap Toni.
Toni tampak berpikir menimbang jawaban dari pertanyaan Diko. “Sebenernya ideku ini sama aja kayak kita ngambilin makanan yang ada di minimarket, warung atau rumah-rumah, sih. Alasan kita ‘kan untuk bertahan hidup dengan sumber makanan yang ditinggalkan itu,” Toni memberi jeda. “Lagipula, kamu ‘kan cuma ambil uang yang sesuai jumlah di rekening kamu. Bukan mesti kamu ambil semua uang di dalam sini,” lanjut Toni dengan raut santai.
Diko menatap dalam-dalam mata Remi dan Jono bergantian. Ia bingung harus memutuskan bagaimana. Isi hati dan pikirannya jadi campur aduk. Di satu sisi, ia membenarkan perkataan Toni. Tapi di sisi lain ia masih ragu dan takut-takut. Karena memang baru pertama kali Diko menghadapi hal seperti ini. Ia bimbang apa tidak apa-apa mengambil uang dengan cara yang Toni usulkan tadi. Karena kepala Diko sendiri juga tidak bisa memikirkan perihal cara mengambil uang tunai yang ada di rekeningnya. Sementara ia tidak yakin apakah di ibu kota nanti ada listrik atau tidak. Dan apakah kartu ATM miliknya nanti masih bisa berfungsi atau tidak.
Melihat raut wajah Diko yang tampak seperti anak ayam tersesat, Remi jadi mengulum senyum. “Atau gini aja, Ko. Kamu ambil uang sesuai jumlah di rekening kamu seperti ide Toni, terus kamu tinggalin aja kartu ATM dan buku tabungan kamu di sini. Jadi rasanya sama aja kayak abis narik semua uang di rekening kamu sendiri, ‘kan?” wajah Remi tampak antusias saat mengemukakan pikirannya.
“Nah, nah. Itu boleh juga,” dukung Toni dan Jono bersamaan. Asrul pun manggut-manggut sembari bersedekap menunggu reaksi Diko.
Diko menarik napas, menahannya dua detik. Kemudian ia hembuskan perlahan sambil mencerna ide Toni dan Remi. “Gitu, ya?” telunjuk Diko menggaruk ujung kepala yang sebenarnya tidak gatal.
Keempat pemuda di hadapan Diko mengangguk-angguk pasti dengan raut wajah dan pandangan berbinar. Apalagi Remi dan Jono yang merasa lumayan lega karena ada satu masalah Diko yang akhirnya memiliki jalan keluar.
Setelah merasa cukup menimbang dan otak sudah buntu karena tidak bisa memikirkan alternatif lain, akhirnya Diko mengiyakan ide Toni tadi. “Hmm, kartu ATM dan buku tabunganku ada di dalam ransel. Kita mesti balik dulu ke bunker atau gimana?” tanya Diko.
Toni jadi memijat pelipis mendengar pertanyaan Diko. “Ngg… kalau harus bolak balik gimana, yaaa? Aku ‘sih nggak oke. Yang lain gimana?” Toni menatap teman-temannya satu persatu dengan wajah lelah.
“Hhh… aku juga nggak oke kalau mesti bolak balik lagi,” Jono memasang tubuh lunglai sambil menatap Diko dengan sorot mata memelas.
“Atau ngambil uangnya sekalian saja pas kalian lanjut jalan ke ibu kota. Nggak jadi bolak balik, ‘kan,” usul Asrul.
“Bentar, gini aja. Untuk mencegah hal-hal yang tidak terduga, mendingan kau ambil uangnnya sekarang, Ko. Inget-inget aja berapa jumlah di rekening kamu waktu terakhir kali kamu lihat,” tutur Remi. “Nah, nanti begitu kita sampai di bunker, kamu tinggal kasih kartu ATM kamu ke Toni. Jadi nanti kalau Toni keluar bunker untuk mencari makanan, bisa sekalian Toni yang taruh kartu ATM kamu di sini,” lanjut Remi.
Remi cuma ingin kesempatan ini benar-benar Diko ambil. Karena ia berpikiran jika nanti tiba-tiba terjadi gempa bumi lagi atau suatu keanehan alam lain lalu gedung bank ini runtuh, hilang sudah kesempatan Diko. Karena bukan tidak mungkin mereka tidak akan pernah lagi menemukan gedung bank seperti ini. Mana tahu di ibu kota nanti malah sudah tidak ada gedung-gedung.