Diko, Remi, Joko dan Farah bangun pagi-pagi sekali sebelum penghuni bunker lain bangun. Mereka memeriksa bekal makanan dan air lagi. Diko juga memastikan uang dan ponsel tersimpan aman dan rapi dalam ransel.
Semalam setelah mereka menyampaikan maksud untuk melanjutkan perjalanan ke ibu kota kembali, Mang Sani dan yang lainnya membagikan simpanan pisang, ubi dan singkong secukupnya untuk dibawa. Tadinya Diko dan teman-temannya menolak dengan alasan mereka bisa cari makanan di reruntuhan minimarket dan semacamnya. Tapi Mang Sani dan yang lain memaksa, untuk persediaan katanya.
Satu jam kemudian semua penghuni bunker sudah bangun. Diko dan teman-temannya berpamitan untuk memulai perjalanan. Seperti sebelumnya, atmosfer suram menyambut mereka begitu melangkah keluar dari dalam terowongan. Tapi, entah kenapa mereka berempat jadi merasa lebih lega berada di luar seperti ini. Tinggal di dalam bunker di bawah tanah sepertinya memang tidak cocok untuk mereka. Atau terlalu lama menetap di satu tempat membuat Diko dan teman-temannya jadi gelisah karena mereka memang memiliki tujuan yang belum tercapai.
“Mudah-mudahan hari ini nggak ada hujan aneh-aneh atau bencana susulan lain. Biar kita cepet sampai di ibu kota,” do’a Jono sembari menegadahkan kepala dan telapak tangan ke arah gumpalan awan kelabu.
Ketiga temannya menyambut dengan kata ‘aamiiiin’ panjang. “Mudah-mudahan juga rute yang kita ambil bisa dilewati. Jadi nggak perlu muter cari jalan lain yang malah bikin tambah jauh,” sambung Diko yang dibalas anggukan penuh harap dari Remi, Jono dan Farah.
“Semoga juga kita nggak nemuin, hmm… sisa-sisa tornado lagi,” suara Jono terdengar pelan dan mencicit. Ia tampak menciut begitu ketiga temannya berhenti berjalan dan menatapnya dengan sorot mata serta raut wajah sebal.
Tapi kemudian, Diko, Remi dan Farah menyadari sekitar mereka yang masih tampak porak-poranda. Kali ini kebanyakan kendaraan yang teronggok di sepanjang jalan. Bisa jadi mereka bakal menemukan lagi korban-korban yang tercecer dari tornado.
“Nggak apa-apa, kita jalan terus. Kalau kita nemuin pun nggak bisa nguburinnya. Karena kita nggak ada peralatan untuk itu,” ujar Remi. “Kalau emang nanti nemu di jalan, kamu tutup mata aja. Nanti aku yang nuntun,” kata Remi lagi kepada Farah yang wajahnya tampak tegang dan cemas.
Farah hanya mengangkat kedua alis. Kedua bahunya naik turun agak cepat. Begitu pula detak jantungnya. Ia mengatur napas dan menggelengkan kepala untuk mengusir bayangan jelek yang timbul di pikiran begitu mendengar kata-kata Jono barusan. Lantas ia ikut berjalan lagi melintasi jalanan yang menjadi tampak lebih menyeramkan dari biasanya.
Beberapa kali mereka berempat harus berbelok ke kanan atau kiri karena terhalang benda-benda yang terdampar dari angin tornado kemarin. Semakin mereka jauh berjalan, kabut turun semakin pekat.
“Ini kayak lagi jalan di labirin,” suara Jono terdengar sedikit cemas.
“Ya. Anggap aja begitu. Yang pasti tiap labirin punya ujung jalan keluar,” balas Remi. Sejujurnya ia juga mulai cemas. Kalau kabut tambah tebal, mereka harus berhenti dulu karena akan berbahaya jika tiba-tiba mereka terperosok ke retakan tanah atau semacamnya. Tapi lokasi mereka sekarang ini saja tidak pasti ada di mana. Dan juga di mana mereka mesti berteduh jika terjadi hujan aneh. Belum lagi kalau gempa kembali mengguncang. Tidak mungkin mereka aman berlari tanpa arah yang jelas dalam kabut ini.
Diko mengambil senter dari dalam ransel dan menyalakannya. Teman-temannya mengikuti. Perlahan dan hati-hati mereka berempat berjalan berdekatan. Sesekali jika kabut terlalu tebal, mereka berempat akan diam di tempat. Kemudian mereka akan berjalan kembali begitu angin bertiup dan kabut memudar. Remi mengusulkan untuk berjalan ke arah asal angin yang bertiup, karena berarti ada jalan atau celah untuk angin masuk. Bisa jadi itu jalan untuk keluar dari ‘labirin’ rongsokan kendaraan ini.
“Kita udah jauh banget dari posisi terowongan, ‘kan?” tanya Diko. Kepalanya celingukan ke segala arah. Ia mulai kelihatan gelisah dan tidak sabar.