Diko, Remi, Jono dan Farah termangu menatap sosok-sosok yang makin banyak berdatangan mengerubungi mereka. Tudung yang menutupi kepala mereka dibuka. Tampak wajah-wajah menyeringai geli atau tersenyum lebar menatapi Diko dan teman-temannya.
“Kalian… orang, kan?” tanya Jono terbata.
“Ya, menurut ngana (kamu)?” kata salah seorang dari mereka dengan logat yang dibuat-buat seperti orang Indonesia bagian timur. Beberapa dari mereka tertawa geli.
Diko, Remi, Jono dan Farah langsung berdiri dengan perasaan lega bercampur malu. Mereka berempat saling menatap sebelum akhirnya ikut tertawa bersama orang-orang yang baru menaiki bus. Mereka semua duduk bergerombol di bagian tengah bus. Farah dan dua orang anak perempuan duduk di atas kursi, sementara Diko, Remi, Jono dan tiga pemuda lain duduk selonjoran di lantai bus.
“Tadi aku lihat cahaya senter kalian. Lalu aku panggil teman-temanku dulu supaya ikut ke sini,” tutur seorang gadis seumuran Farah.
“Kami berlima tadi nyasar soalnya kabut udah tebel banget,” kata seorang pemuda dengan rambut gondrong yang diikat rapi ke belakang kepala. Sepertinya ia seusia Remi.
“Makanya tadi kami saling pukul-pukul benda di sekitar biar saling ngikutin suara biar nggak mencar dan kesasar lagi. Soalnya kalau teriak-teriak nanti jadi haus,” terang seorang pemuda kurus seusia Diko.
“Untung tadi di losmen kosong nemuin selimut ini. Jadi bisa buat penghangat pas tiba-tiba kabut turun,” seorang gadis lain merapatkan pinggiran selimut di badan.
“Kalian mau ke mana emangnya?” tanya seorang pemuda dengan rambut jabrik. Ia menaruh dagu di atas tangan yang terlipat di sandaran kursi.
Remi menatap ketiga temannya sebelum menjawab. “Kami mau ke ibu kota.”
Kelima teman baru mereka saling mengerling dengan raut ganjil mendengar jawaban Remi. “Mau ngapain? Ibu kota udah nggak ada,” sahut si pemuda kurus.
“Udah nggak ada gimana maksudnya?” kening Diko berkernyit menatap pemuda yang tadi menyahut. Degup jantung yang tadinya mulai normal, jadi berdetak cepat kembali.
Farah yang sedang setengah berbaring bersandar di kursi, langsung duduk tegak begitu mendengar kata-kata pemuda tadi. Ia juga menunggu jawaban atas pertanyaan Diko barusan dari orang-orang baru ini.
“Kata pengungsi yang dari ibu kota, akses jalan ke ibukota udah ketutup. Gempa berkali-kali bikin lempengan permukaan tanah sepanjang jalur ke ibu kota jadi terbelah.”
“Permukaan ibu kota yang emang rendah juga jadi bikin air laut tumpah ke daratan. Jadi semua tempat di ibukota banjir parah.”
“Kami aja akhirnya mikir untuk pergi ke luar kota. Soalnya pengungsian di pinggiran ibu kota udah penuh. Makanan dan air juga udah menipis.”
Dua pemuda dan satu gadis menjawab bergantian pertanyaan Diko tadi. Jawaban mereka membuat Farah merasa panas dingin bersamaan di sekujur tubuh. Ia kembali terduduk dengan tatapan kosong ke sandaran kursi di hadapannya.
“Terus, nggak ada bantuan atau apa gitu dari pemerintah atau tentara?” tanya Jono.