Pinjol Pocalypse

Rexa Strudel
Chapter #15

#15: Tidak Ada Lagi Ibu Kota

Tepat ketika Remi dan Jono menjejak ke tanah padat di seberang, jembatan layang yang mereka lewati benar-benar oleng dan runtuh. Tinggal selangkah lagi bagi Diko dan Farah saat ujung jembatan layang yang menempel ke tanah padat ikut runtuh. Tanpa dikomando, Diko dan Farah melompat sejauh-jauhnya.

Remi berhasil menangkap kedua tangan Farah karena lompatannya tidak bisa mencapai tanah tempatnya berdiri. Ia menarik Farah hingga kedua kakinya menjejak di permukaan tanah. Sementara Diko berhasil melompat hingga ke seberang. Tapi karena Jono bergeser, Diko jadi terhempas ke tanah keras. Mereka berempat menyingkir dari tepian tanah padat dan diam hingga guncangan gempa berhenti beberapa detik kemudian.

“Aduuuh… kayaknya badanku remuk,” Diko berguling terlentang menghadap langit kelabu. Kedua tangannya mengusap-usap badan sambil meringis.

“Ehe… maap, ya. Aku salah posisi berarti tadi,” Jono menyeringai jail kepada Diko.

Farah duduk mengatur napas. Ia meneguk air di botol sampai habis. “Wow. Tadi berasa kayak di film-nya Tom Cruise,” kata Farah terpatah-patah karena masih belum stabil bernapas.

“Keren, ‘kan. Mau lagi kayak tadi?” goda Remi.

Farah geleng-geleng kepala. “Keren. Tapi nggak lagi-lagi, ’deh. Nggak bagus buat kesehatan jantungku.”

Remi dan Jono tertawa mendengar perkataan Farah. “Kita mau lanjut atau istirahat dulu?” tanya Remi sambil bergantian melihat teman-temannya.

Diko langsung duduk dan meregangkan tubuh. “Terserah yang lain.”

“Lanjut aja, yuk. Mumpung cuaca masih normal dan belum gelap,” Farah berdiri dan menepuk-nepuk celana.

Mereka melanjutkan perjalanan kembali. Sepanjang jalan di kanan dan kiri mereka hanya ada reruntuhan bangunan dan rongsokan kendaraan. Suasana lengang dan sepi.

“Ini bener arahnya ke ibu kota?” tanya Jono sambil celingukan.

“Coba sambil cari dan liat-liat barangkali ada papan petunjuk jalan atau papan nama toko yang ada alamat,” kata Diko.

Lantas mereka berempat jadi menjelajahi bagian depan reruntuhan bangunan sembari terus berjalan untuk mencari petunjuk lokasi mereka sekarang ini. Beberapa meter di depan, ada perempatan jalan. Sebuah tiang penyangga papan penunjuk jalan yang roboh tampak melintang di tengah jalan.

Remi, Diko dan Jono membalik papan petunjuk jalan tersebut. Diko memperhatikan tulisan dan arah yang tertera di papan. “Bener, kok. Kita kalau mau ke ibu kota jalannya lurus terus aja,” kata Diko.

“Kita istirahat dulu aja sebentar,” ajak Remi. Ia duduk dan melepas ransel di trotoar. Teman-temannya mengikuti. Mereka makan dan minum untuk mengisi energi. Setelah hampir setengah jam melepas lelah, perjalanan dilanjutkan kembali.

Remi melihat jam di pergelangan tangan, sudah pukul tiga sore lebih beberapa menit. Sepanjang jalan tidak ada satu orang selamat pun yang mereka temui. Padahal sebelumnya, pasti ada saja kumpulan lima sampai sepuluh orang yang mereka temui di sisa-sisa bangunan.

Lihat selengkapnya