Pinjol Pocalypse

Rexa Strudel
Chapter #16

#16: Karyawan Pinjol

Suasana sore masih cukup terang. Petugas pencatat langsung menyadari begitu melihat air yang mengejar di belakang Diko dan teman-teman. Mereka segera berlari ke tempat pengungsian dan memperingatkan orang-orang soal air laut yang meluap menuju tempat mereka. Salah seorang petugas membunyikan alarm di pengeras suara portable.

Semua orang yang berada di bawah, langsung memasuki gedung-gedung secara teratur. Sepertinya mereka sudah terlatih untuk tidak panik saat terjadi bencana susulan seperti sekarang ini. Diko dan teman-temannya mengekor salah seorang petugas pencatat tadi yang berlari masuk ke sebuah gedung enam lantai.

Lantai bawah gedung tampak kosong. Petugas tadi menyadari Diko dan teman-temannya yang berlari mengikutinya. Ia berhenti di tangga dan memastikan semua orang naik ke lantai paling atas. “Langsung ke lantai paling atas,” ujarnya berulang-ulang kepada setiap orang yang melewatinya untuk menaiki tangga. Begitu Jono yang merupakan orang terakhir naik ke atas, petugas tadi celingukan sejenak untuk memastikan tidak ada orang tertinggal di bawah. Setelah itu, barulah ia naik menyusul orang-orang.

Alarm sudah dimatikan. Semua orang tampak di bagian paling atas gedung. Mereka memperhatikan air laut yang mulai deras memasuki kawasan pengungsian. Suasana memang tidak tampak kacau, tapi dalam hati mereka masing-masing pasti merasakan kecemasan atas keselamatan diri. Apalagi keadaan alam yang sepertinya belum stabil dalam waktu dekat ini.

Suara bisik-bisik dan gumaman kecemasan mulai menguar di udara. Kira-kira satu jam lebih air laut membanjiri tempat pengungsian dan sekitarnya. Setelahnya, keadaan tampak tenang dan sunyi. Tapi atmosfer kecemasan masih terasa. Bukan tidak mungkin terjadi gempa lagi dan air laut akan semakin membanjiri daratan.

“Kira-kira banjir ini bakal surut atau tidak?” tanya Jono pada petugas tadi. Kepala Jono melongok ke dalam gedung. Air keruh membanjiri lantai dasar gedung. Benda-benda yang mengapung terbawa air terlihat menambah kelam suasana. Sementara sore semakin beranjak naik menjadi malam.

“Kalau di sini pasti surut. Soalnya air menyebar dan menyerap ke tanah. Tapi kalau terjadi gempa di laut seperti tadi lagi, pasti bakal banjir seperti ini,” tuturnya. “Ini sudah yang kedua kali. Dari kemarin sebenarnya kami semua sudah menimbang untuk pindah ke daerah lebih tinggi yang cukup jauh dari jarak laut.”

Genangan banjir masih tinggi. Tapi tidak bertambah. Yang berarti air laut sudah berhenti tumpah ke daratan. Di gedung tempat Diko dan teman-temannya, ada sekitar tiga puluhan orang terhitung mereka berempat juga. Petugas tadi dibantu lima orang pengungsi membagikan makanan siap santap dalam kemasan aluminum foil kepada semua orang di gedung. Makanan ala militer.

Begitu malam tiba, mereka turun ke lantai dua gedung. Tujuannya agar lebih mudah untuk lari keluar gedung jika terjadi gempa lagi. Banjir terlihat surut dengan cepat. Hanya tersisa lumpur dan genangan air. Terdengar dari alat komunikasi jarak pendek petugas bahwa besok pagi mereka semua akan mulai pindah ke tempat yang lebih tinggi di luar lingkar ibu kota.

Malam itu Diko tidak bisa tidur. Ia beberapa kali bolak balik berbaring dan pindah tempat. Tetapi tetap saja kantuk itu tak kunjung datang. Kepalanya penuh dengan pemikiran soal bagaimana cara untuk membayarkan hutang ibunya. Akhirnya ia memutuskan besok pagi sebelum mereka berangkat pindahan, ia akan bertanya kepada petugas soal keberadaan karyawan pinjol atau semacamnya. Kalau perlu, ia akan menanyai semua orang di pengungsian.

Menjelang pagi, Diko baru bisa terlelap. Itu pun hanya sekitar kurang dari satu jam. Remi membangunkan Diko untuk sarapan dan bersiap ikut pindah. Dengan kondisi masih mengantuk dan perasaan campur aduk, rasanya Diko tidak bisa berpikir jernih. Belum lagi mimpinya saat sekejap terlelap barusan.

Di mimpi tersebut, ia melihat sang ibu di tebing seberang jalan sedang menangis tersedu-sedu dengan kedua tangan menangkup wajah. Sayup-sayup terdengar suara ibunya yang memantul berulang kali berkata ‘hutangku, hutangku…’

“Kamu nggak apa-apa, Ko?” tanya Remi melihat wajah pucat Diko.

Lihat selengkapnya