Pagi hari. Tepat sebelum mata pelajaran pertama, Bu Diani masuk ke ruangan XI I.S 3 dan membuat seluruh penghuni kelas mendadak membeku. Kelas yang terkenal paling tak bisa diatur di SMA Bendera itu tiba-tiba menjadi senyap seolah baru saja dilewati oleh sekumpulan malaikat. Fokus semua siswa mengarah kepada sosok yang ikut hadir bersama Bu Diani. Seorang siswa baru.
Rasanya agak aneh ada seorang murid baru yang hadir di awal semester kedua tahun ajaran, mengingat kenaikan kelas sudah dalam hitungan bulan. Hal ini secara alami membuat semua mata berbinar ingin tahu. Apalagi sosok yang menjadi sorotan sungguh menarik perhatian. Laki-laki dengan postur tubuh yang kurus dan tinggi, wajah serta kulit yang putih bersih seperti artis Korea, dan yang sangat mencolok adalah highlight berwarna pink di rambutnya yang di cat cokelat karamel.
"Ini Arthur, dia pindahan dari Medan. Mulai sekarang dia akan jadi bagian dari kelas kalian," ucap Bu Diani memecah kesunyian. Kelas mendadak riuh setelah Bu Diani memperkenalkan sosok baru tersebut. Para siswi berbisik-bisik penuh semangat, sebagian siswa terlihat tidak peduli, sebagian lagi menahan tawa seperti mengejek teman baru mereka. Yang menjadi sorotan sendiri seolah tak terpengaruh akan keriuhan di sekitarnya. Ekspresinya tetap sama datarnya semenjak kakinya melangkah masuk ruangan.
"Ada yang mau kamu sampaikan Arthur?"
Bu Diani membuat gerakan dengan tangannya meminta para siswa tenang. Arthur menggeleng.
"Ya sudah, kalau begitu kamu silahkan duduk di bangku kosong di belakang sana, di samping Adinda." Guru cantik itu mempersilahkan Arthur ke bangkunya dengan sedikit memberi peringatan "Kamu sudah dengar peraturan dari Pak Kepsek tadi, pastikan besok rambut kamu sudah hitam." Arthur hanya mengangguk dan langsung menuju bangku yang ditunjuk Bu Diani.
Dinda yang sejak tadi ikut memperhatikan Arthur, buru-buru memindahkan tas sekolahnya dari bangku di sampingnya ke atas meja. Lelaki itu tetap diam saat duduk di tempatnya. Meletakkan tas serta mengeluarkan buku juga peralatan tulis menulis tanpa sedikitpun menoleh atau berusaha beramah tamah seperti yang biasa dilakukan siswa baru pada umumnya. Dinda terkesima dan tanpa sadar terus memperhatikan makhluk di sampingnya itu. Ia terkejut begitu menyadari bahwa semua peralatan tulis menulis Arthur berwarna merah muda. Belum selesai kekagetannya, lagi - lagi matanya menangkap objek yang sangat aneh pada jari-jemari Arthur.
'Ya ampun... Kukunya...' Dinda bergidik, baginya kuku-kuku Arthur terlalu rapi dan cantik untuk seorang laki-laki. Persis kuku-kuku hasil perawatan intensif salon kecantikan. Refleks ia melirik kuku tangannya sendiri dan seketika merasa sangat menyedihkan sebagai perempuan.
"Mau sampai kapan kamu ngeliatin aku terus." Tiba-tiba Arthur bersuara masih tanpa menoleh. Diluar dugaan, suara Arthur ternyata sangat maskulin. Sangat laki-laki. Setidaknya menurut Dinda, suara Arthur adalah tipe-tipe suara pria yang akan membuat banyak perempuan terpesona.
"Eh... Engg... Ah.. Iya, nama gue Dinda," ucap Dinda seraya menyodorkan tangannya, berbasa-basi menutupi kegugupannya karena tertangkap basah mengamati Arthur. Pemuda itu hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya menyimak pelajaran yang baru saja dimulai. Mereka tak bicara apa-apa lagi hingga bel istirahat dibunyikan.
******
Dinda selalu meyakini bahwa ada alasan kenapa masa-masa SMA selalu dianggap sebagai masa yang paling indah dalam kehidupan seseorang. Salah satunya, masa SMA adalah masa dimana kalian bisa bebas modusin seseorang tanpa merasa bersalah, dan yang dimodusin juga merasa bahagia. Seperti yang dilakukan Dinda hampir dua tahun terakhir ini, ngemodusin kapten basketnya Bendera.
"Gila ya kak Mika, kok bisa ada laki-laki sekeren dia?" Entah sudah berapa kali kalimat itu terucap dari bibir Dinda. Matanya lekat memperhatikan seorang pemuda berkulit cokelat yang sedang berlari lincah membawa bola. Kinar-sahabatnya-hanya bisa meringis menahan diri untuk tidak mengumpat saking muaknya.
"Yang gila itu elu!" ucap Kinar menepuk pundak Dinda yang duduk disampingnya. Mereka berdua sedang berada di tepi lapangan basket, bertugas sebagai asisten pelatih menyiapkan minum serta handuk untuk atlet basket yang sedang berlatih saat jam istirahat berlangsung.