Pink Envelope

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #3

Bagian 3

“Ok, gue minta maaf!” kata sang pradana.

Fiza melihat sosok pemuda berkulit putih itu. Setelah berdamai, Fiza dan Kania mengambil posisi untuk push up sebanyak tiga puluh kali dihitung oleh sang pradana. Setelah selesai Fiza dan Kania menyusul teman satu sangganya. Kebetulan Fiza adalah seorang ketua sangga. Sementara upacara pembukaan berlangsung, dari kejauhan sang pradana memperhatikan sosok Fiza. Pikirannya terusik dengan cara pandang gadis itu. Pradana itu bernama Diyas. Diyas adalah sosok yang paling berpengaruh di sekolah itu. Banyak sekali anak perempuan yang diam-diam jatuh cinta padanya. Termasuk Melinda, sosok pradani yang merangkap ketua OSIS di sekolah tersebut.

Tibalah saat diumumkan seleksi untuk menjadi anggota bantara. Diyas berbicara panjang lebar mengenai syarat-syarat menjadi seorang bantara. Pemuda pemilik lesung pipi itu juga memberikan kesempatan para bantara yang berminat menjadi dewan ambalan. Setelah kemah bantara selesai, akan dilakukan seleksi dewan ambalan. Fiza tidak tertarik sama sekali. Ketika Fiza berjalan di lorong sekolah, Diyas menghampirinya.

“Hei! Gue suka gaya lo tadi. Gue harap lo ikut kemah bantara!” kata Diyas sambil menyodorkan sebuah plester luka kepada Fiza. Gadis itu hanya meraih plester luka sambil berkata, “Sorry, nggak tertarik!”

“Sekolah ini butuh orang yang nggak hanya pandai berbicara tapi juga ditunjukkan dengan sikapnya!” teriak sang pradana. Fiza membalik badannya dan berjalan menatap tajam Diyas. Sambil menghela nafas dia berkata, “Ok! Gue terima tantangan Kak Pradana yang terhormat. Thanks.” Fiza berjalan sambil melambaikan plester di tangannya.

Sepanjang jalan dia hanya memperhatikan plester luka di tangannya. Diyas tersenyum puas. Dia berhasil menyalakan api pertaruhan. Fiza bergegas menuju kelasnya untuk mengambil ranselnya. Dia bergegas keluar kelas menghampiri Kania yang sudah menunggunya di depan kelas. Mereka berdua berjalan beriringan, Kania senyum-senyum sendiri sambil mengikik.

“Kenapa Lo! Ih, horor!” Fiza bergidik melihat sahabatnya yang masih senyum-senyum sendiri.

“Kak Diyas cute banget, keren banget. Tipe gue banget,” jawab Kania sambil senyum-senyum dan memukul-mukul lengan Fiza.

“Lo suka sama orang ‘sok’ itu!” pekik Fiza tidak percaya.

Kania mengangguk dengan senyum merekah seperti bunga mawar yang merekah di pagi hari. Fiza terheran, dia menghormati perasaan sahabatnya itu. Ia hanya tersenyum getir melihat sahabatnya menceritakan semua kelebihan Diyas. Bagi Fiza sosok Diyas merupakan sosok kakak kelas yang menyebalkan, bagaimana bisa Kania sahabatnya yang cantik itu bisa jatuh hati pada Diyas. Fiza masih mendengarkan pujian yang terlontar dari mulut mungil Kania, sepertinya sahabatnya itu memang jatuh hati pada Diyas.

Sosok sang ayah sudah menunggu di gerbang sekolah, gadis itu bergegas pamit kepada Kania yang masam melihat Fiza berlari menghampiri ayahnya. Kania masih merajuk, tapi Fiza sudah kabur meninggalkannya.

Lalu lalang kendaraan sore itu membuat kepenatan Fiza bertambah. Apalagi kegiatan seharian yang membuatnya keluar keringat banyak. Polusi tidak bisa terelakkan dari kesehariannya, mukanya tambah kusam. Ayahnya masih konsentrasi memacu kuda besinya. Ia melirik putrinya melalui kaca spion.

“Kenapa, Nak?” tanya sang ayah.

“Hm… Nggak apa–apa. Capek saja,” jawab Fiza singkat dengan muka masam.

Lihat selengkapnya