Adu mulut antara Fiza dan Diyas kemarin membuat Fiza terkenal di kalangan kakak tingkatnya. Hal itu membuatnya juga dikenal oleh para guru. Fiza menjadi sosok yang digadang–gadang untuk menjadi ketua OSIS. Hal itu membuat Melinda semakin geram. Melinda bisa terpilih menjadi ketua OSIS dan pradani karena pengaruh dari ayahnya sebagai pemilik yayasan sekolah tersebut. Dewan guru sebenarnya tidak menyukai cara Melinda menyalahgunakan jabatannya sebagai orang berpengaruh di sekolah itu untuk mengintimidasi siswa yang lain. Banyak sekali siswa yang mengadukan sikap Melinda kepada dewan guru. Hal itu pula yang menjadi dasar para dewan guru untuk membuat perubahan.
Kabar tentang dukungan para dewan guru untuk Fiza sudah menyebar seantero sekolah. Diyas pun sudah mendengar hal itu. Diyas hanya tersenyum ketika mendengar siswa lain membicarakan tentang Fiza. Langkah kaki Fiza dihentikan Diyas ketika Fiza sedang mengenakan hasduk. Gadis beranjak dewasa itu akan melakukan uji materi untuk mendapatkan tanda tangan dari seniornya.
“Ehem… ” Diyas melihat wajah Fiza yang anggun.
Fiza berhenti ketika melihat sosok di depannya.
“Apa sih?” kata Fiza jengkel.
“Bagaimana tantangannya? Lo sudah dapat berapa persen?” tanya Diyas sambil menyeringai. Fiza menghela nafas perlahan, menahan emosinya yang hampir memuncak. Tiap kali melihat Diyas, dia merasa ada sesuatu yang membuatnya ingin marah.
“Nih!” kata Fiza sambil memperlihatkan buku SKU dari dalam saku bajunya.
Diyas tersenyum melihatnya, Fiza berlalu dari hadapan Diyas. Dia mengerutu sepanjang koridor sekolah. Bagi Fiza bertemu Diyas adalah sebuah kesialan. Fiza berjalan sambil merapikan bajunya, dia menghela nafas menata agar suasana hatinya membaik. Kania melambaikan tangan dari kelas, gadis itu memberi kode bahwa Diyas berjalan di belakang Fiza. Fiza segera berlari dan bersembunyi di samping gedung kelas sebelahnya. Hari ini Fiza sedang tidak ingin ribut dengan siapa pun.
Setelah melihat Diyas pergi, Fiza segera berlari menemui rekan satu sangganya untuk uji materi dengan Kak Soni, seniornya. Dia terkenal sebagai penegak kedisiplinan paling disegani. Fiza dan teman–temannya memasuki ruangan tempat Soni sudah menunggu. Dia melihat Fiza menyiapkan barisan sangganya dan melapor jika telah siap menerima ujian materi dari Kak Soni. Walaupun terkenal garang Soni malah tampak santai ketika menguji materi sangga tersebut. Berbeda sekali ketika dia menguji sangga yang lain.
“Siapa ketua sangga kalian?”
“Saya, Kak.” Fiza mengacungkan tangan.
“Perkenalkan nama dan kelas!”
“Siap! Nama Nafiza Malaika! Kelas X IPA 1!” teriak Fiza tegas.
“Oh, jadi lo yang namanya Fiza?” Soni tampak mengamati wajah Fiza.
“Betul, Kak,” jawab Fiza.
“Kalian kenapa tegang sekali? Ujian ini nggak sulit kok.”
Tampak semua menghela nafas lega. Ternyata Diyas mengamati Fiza dari pojok jendela. Soni memperhatikan rekannya itu mengamati sosok Fiza terus menerus. Matanya tak berpaling dari wajah Fiza.
“Ok, ujian kalian selesai. Mana buku SKU kalian?” tanya Soni.
Fiza segera mengumpulkan buku SKU rekan–rekannya. Dia mengajukan setumpuk buku kecil itu di hadapan Soni. Soni dengan cepat memberikan tanda tangan sebagai bukti mereka telah lulus ujian dan sekarang buku SKU tersebut telah terisi penuh tanda tangan para senior dari Dewan Ambalan. Fiza menyiapkan barisannya lagi dan membubarkan rekan–rekannya. Ucapan terima kasih terucap dari mulut Fiza kepada Soni. Setelah rekan-rekannya keluar, Soni menghentikan langkah Fiza yang hampir sampai di bibir pintu.
“Fiza!” teriak Soni.
“Ada apa, Kak?” tanya Fiza sopan.
“Selamat ya.”