“Wah parah nih lo, Vin! Lo nyuruh gue buat minta bantuan si Farhan! Lo tahu sendiri tuh anak macam apa!” keluh Melinda.
“Memangnya lo pengen mengotori tangan lo sendiri buat ngerjain tuh anak? Lo mau Diyas tahu keburukan lo? Nggak, kan?” cecar Vina. Milka masih sibuk dengan makanan ringan di tangannya. Gadis yang tergila-gila dengan manga itu masih sibuk dengan ponselnya sambil sesekali meraih makanan di tangannya. Melinda sempat ragu-ragu. Dia menoleh ke arah Milka.
“Mil, kasih saran dong!” bujuk Melinda.
“Bodo! Gue nggak ikut-ikutan!” jawab Milka membuat Melinda geram. Dia sadar bahwa perlakuannya membuat Milka sakit hati dan memilih untuk mengacuhkan masalah Melinda. Usulan Vina mengajak Farhan ternyata bisa membuat Melinda mengambil sikap, si preman sekolah yang terkenal badung itu sedang nongkrong di sudut halaman sekolah. Sebenarnya Melinda enggan berurusan dengan si Farhan, karena Farhan pasti meminta imbalan yang besar darinya.
“Gue mau bicara berdua sama lo, Far. Nanti gue tunggu di tempat biasa,” kata Melinda.
“Pasti dapat pekerjaan besar sampai Tuan Putri menghampiri Kang Farhan,” sahut salah satu rekannya.
“Sudah deh, diam lo! Nanti juga dapat traktiran,” ketus Melinda kepada gerombolan anak buah Farhan.
“Siap! Ntar gue tunggu di tempat biasa, Mel,” sahut Farhan tegas.
Melinda bergegas meninggalkan para anak badung itu. Dia melihat Fiza yang sedang duduk bersama Diyas. Hati Melinda muncul kesumat yang menggebu. Kania memperhatikan Melinda dari kejauhan. Melinda tampak menggerutu sendiri ketika melihat Diyas begitu dekat dengan Fiza. Akhirnya, Melinda tak tahan melihat pemandangan di depan matanya. Dia pergi dengan hati yang panas. Kania pun bersembunyi ketika Melinda lewat di sampingnya. Setelah aman, Kania bergegas menuju kelasnya.
Diyas dan Fiza berjalan beriringan sambil membicarakan persiapan kemah nanti. Fiza banyak bertanya tentang peralatan apa saja yang dibutuhkan untuk berkemah. Dengan senang hati Diyas membantu menyebutkan alat–alat yang dibutuhkan. Sedikit demi sedikit Fiza tampak menghilangkan rasa jengkelnya kepada Diyas.
Di balik sosok yang menjengkelkan ternyata Diyas memiliki pengetahuan yang sangat luas. Diyas sebenarnya anak yang pandai di sekolah itu, dia juga sosok idola di sekolah itu. Rasa jengkelnya menguap sedikit demi sedikit, sebuah kenyamanan menggantikan rasa itu. Tapi, ia terus mengelaknya. Baginya pelajaran dan memajukan kegiatan di sekolah itu adalah hal nomor satu. Dia mengesampingkan kekaguman yang tumbuh menjalar di hatinya. Hatinya selalu merapal kalimat istighfar agar rasa kekagumannya bisa terkendali.
Ketika masuk di perpustakaan, Fiza dikagetkan dengan pemberian Bu Tika. Ada beberapa amplop yang diperuntukkan baginya. Fiza penasaran dengan isi amplop tersebut. Bu Tika menggodanya. Gadis itu menanyakan siapa yang memberikan amplop itu, tapi Bu Tika hanya geleng–geleng kepala. Dia tidak mengetahui siapa yang menaruh amplop tersebut di buku peminjam setiap hari. Sepertinya dia tahu sekali keseharian Fiza menjadikan perpustakaan tujuan pertamanya di sekolah.
“Hari gini masih ada aja yang bikin surat kayak gini,” ucap Fiza sambil membuka sebuah amplop itu perlahan, Bu Tika masih menggoda Fiza dari kejauhan. Fiza hanya tersenyum simpul membalas setiap ucapan Bu Tika.
Nafiza Malaika…
Satu nama yang bagaikan hujan mengguyur gersangnya hatiku
Kamu adalah sinar mentari yang memberikan kehangatan