Setelah jam pelajaran selesai, Kania dan Fiza memutuskan untuk duduk di bawah pohon beringin tempat favorit Fiza.
“Lo pinter cari tempat bersembunyi. Nyaman banget di sini. Melihat orang lalu lalang di jalan. Sambil menikmati udara yang berhembus. Segar banget!” kata Kania bersemangat.
“Lo orang kedua yang bilang seperti itu,” jawab Fiza sambil meletakkan tas ransel di samping badannya kemudian merebahkan badannya.
“Hm, oh ya? Siapa yang pertama? Lo bakal ketiduran kalau rebahan gitu, Za.”
“Gue cuma istirahat doang. Sepertinya hari berikutnya akan terasa berat,” desah Fiza sambil menghela nafas panjang.
“Lo tadi mikirin apa sih?”
“Hm… semua, Ka. Jabatan, Melinda, dan juga…”
“Kak Diyas?” terka Kania.
“Hm… gue heran saja sama dia. Kenapa dia tiba–tiba jadi baik sama gue ya?”
“Jangan–jangan tebakan gue benar? Kalau menurut gue, Kak Diyas tuh suka sama lo,” kata Kania sambil terkekeh.
“Nanti lo sakit hati kalau Kak Diyas suka sama gue,” ledek Fiza.
“Hmm, gue nggak mau berurusan dengan gadis sok kecentilan di sekolah ini. Mending naksir cowok yang lain. Lagian gue nggak boleh pacaran,” balas Kania santai. Fiza ikut tertawa mendengar jawaban asal sahabatnya.
“Sebenarnya gue lebih tertarik pada orang yang memberikan amplop–amplop tadi.”
“Apa? Lebih tertarik dengan orang antah berantah itu?”
“Soalnya misterius banget dia, Ka,” kata Fiza menimpali.
“Bagaimana kalau itu hanya akal–akalan Melinda?”
“Gue yakin amplop tadi bukan kerjaan Melinda. Melinda nggak pernah tahu rutinitas gue ke perpustakaan. Dia datangnya siang terus. Gue yakin sosok itu mengamati gue diam–diam. Sampai tahu tiap pagi gue ke perpustakaan.”
“Iya sih, kalau gue perhatikan Melinda datangnya siang terus. Lo kan sampai di sekolah awal banget, Za. Tapi, menurut gue jangan terlalu berharap dulu dengan pemberi amplop itu. Kalau dia ganteng sih nggak masalah, Za. Gimana kalau kayak si Doni cepak itu? Ieuyuh… jangan deh,” kata Kania menimpali. Fiza terbahak–bahak mendengar ucapan Kania tentang si Doni cepak. Kania mengambil gawai dari sakunya. Mereka berdua kemudian swafoto bersama. Layaknya remaja zaman sekarang. Mereka berdua juga aktif dalam menggunakan media sosial. Terkadang mereka berdua juga membuat video bersama.
“Lo jangan terlalu memikirkan apa yang belum terjadi. Berdoa saja, semoga esok lo bisa memberikan yang terbaik. Jika lo diberikan amanah yang besar, berarti kemampuan lo juga besar. Nikmati saja prosesnya, lakukan sebaik mungkin apa yang lo bisa,” nasehat itu terucap dari mulut Kania ketika berjalan bersama Fiza.
Kedua gadis itu berpisah di gerbang sekolah. Mobil ayah Kania sudah terparkir di luar gerbang. Gadis itu segera berlari dan masuk ke dalam mobil, dia membuka jendela dan melambaikan tangan pada sahabatnya. Fiza pun tersenyum sambil melambaikan tangan kepadanya.
Terlihat rombongan anak badung di sekolah itu menghampiri Fiza yang sedang menunggu ayahnya. Farhan dengan gaya khasnya turun dari kuda besinya. Fiza agak gentar tapi ia segera menata hatinya untuk menghadapi sikap tidak menyenangkan dari Farhan. Farhan masih menggoda Fiza, tapi Fiza tidak bergeming. Dia hanya menjawab pertanyaan anak itu dengan singkat dan juga sesekali menelpon ayahnya. Hampir lima menit berjibaku dengan perasaan was–was, akhirnya sang ayah datang juga.
“Maaf Kak Farhan. Gue duluan,” pamit Fiza sopan. Gadis itu segera meraih helm yang diberikan ayahnya. Farhan tak bisa berkutit di hadapan ayah Fiza. Apalagi sang ayah sudah menaruh curiga dengan gelagat Farhan ketika berbicara dengan Fiza. Tentu naluri seorang ayah ketika anak gadisnya didekati orang yang tidak baik. Fiza menuruti kata ayahnya untuk berhati–hati menyikapi anak tersebut.