Pink Envelope

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #10

Bagian 10

Matahari bersinar tidak terlalu terik. Sedikit ditutupi awan tetapi birunya langit masih tampak jelas. Truk pengangkut peserta kemah menderu memasuk bumi perkemahan yang terletak di sebuah kaki gunung. Fiza melihat sekeliling, rumah– rumah tampak sepi seperti tak berpenghuni. Ia mengalihkan pandangannya pada bukit yang rimbun dengan pepohonan yang tampak hijau.

Semua peserta satu per satu turun dari truk. Diyas pun membantu satu per satu adik tingkatnya untuk turun. Kania menyenggol bahu Fiza. Fiza tahu maksud Kania apa, tetapi dia tetap tak mau menggubris godaan sahabat setianya. Kania turun dan Fiza turun di belakangnya.

“Awas, hati–hati!” kata Diyas menatap Fiza.

Fiza hanya mengangguk dan segera turun. Diyas tersenyum kepada Fiza. Tetapi Fiza bergegas menuju mobil pick up untuk mengambil ranselnya. Tatapan Melinda di kejauhan selalu mengamati setiap gerak gerik Diyas. Diyas segera menyiapkan semua kegiatan. Setelah melakukan koordinasi, dia mengumpulkan peserta kemah untuk berbaris.

“Priitt... pritt… Pritt….”

Semua anak yang masih sibuk meletakkan barang bawaannya segera berlari untuk berbaris di hadapan Diyas. Diyas memberikan sedikit instruksi kegiatan apa yang akan dilakukan. Diyas memberikan waktu untuk mendirikan tenda. Para peserta membubarkan diri untuk segera mendirikan tenda.

Fiza memimpin mendirikan tenda, rekan satu sangganya saling bekerja sama. Simpul–simpul tali diikatkan pada tongkat dan pancang. Tak lupa ijuk dan garam mengelilingi tenda itu. Di samping kanan kiri mereka, dipasang pagar–pagar dari bambu dan hiasan untuk memberikan identitas sangga mereka Terlihat setiap sangga masih sibuk mendirikan tenda mereka, sangga Fiza menjadi sanga yang pertama kali selesai. Diyas masih berkoordinasi dan membagi tugas untuk panitia kemah tersebut.

Setelah semua sangga selesai mendirikan tenda. Diyas mengumpulkan mereka lagi untuk melaksanakan upacara pembukaan. Nampak guru pembina pramuka sudah berdiri di dekat panitia. Pak Sandi akan memimpin upacara pembukaan. Guru yang sangat aktif dalam dunia pramuka itu sangat mencintai hal–hal yang berbau dengan alam. Jika ada kegiatan kemah ataupun outbond di alam liar, dia pasti pertama kali yang akan mengajukan diri untuk ikut.

Upacara pembukaan pun dimulai. Seluruh peserta dengan antusias membuat sikap sempurna dan mengikuti satu per satu acara yang dilaksanakan pada upacara kecil itu. Pak Sandi pun memberikan arahan dan nasehat untuk para peserta agar selalu waspada dan berhati–hati dalam bertindak. Selalu mengedepankan sopan santun dan juga jiwa korsa. Setelah itu Diyas selaku ketua panitia pun memberikan tambahan tentang jadwal yang akan dilaksanakan. Setelah dibubarkan, pimpinan sangga harus tinggal dahulu untuk mendapatkan selembar jadwal yang harus mereka sosialisasikan kepada teman–teman mereka di masing–masing sangga.

Fiza menjadi orang terakhir yang menerima selembar kertas itu. Dia melihat Diyas lama sekali memandang dirinya.

“Kak, kertasnya mau dikasih nggak?” tanya Fiza kepada Diyas.

“Oh maaf, Za,” kata Diyas salah tingkah sambil memberikan selembar kertas berisi jadwal kegiatan itu.

“Terima kasih, Kak. Permisi,” ucap Fiza sembari memegang uraian jadwal itu. Dia membacanya pelan–pelan sambil berjalan. Tanpa sengaja ia menabrak Melinda yang sedang melakukan persiapan untuk kegiatan malam hari nanti. Melinda tampak naik pitam karena ketidaksengajaan Fiza. Fiza hanya berulang–ulang mengucapkan kata maaf. Tetapi Melinda sepertinya tidak mau tahu. Dia pergi begitu saja. Diyas memperhatikan wajah Fiza yang tampak murung setelah menabrak Melinda. Setelah itu Fiza mengambil langkah seribu menuju tendanya, Jam menunjukkan pukul 10.00, matahari tidak begitu terik. Semua peserta masih sibuk menyiapkan makan siangnya. Memasak bersama teman satu sangga menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan bagi anak beranjak dewasa itu. Candaan demi candaan menghiasi suasana dapur masing–masing sangga. Tak terkecuali ejekan–ejekan tentang makanan yang mereka masak.

Anak–anak yang tidak terbiasa memasak harus memasak dengan alat seadanya tanpa kompor gas, hanya menggunakan tungku dari batu dan juga kayu bakar. Karena tak terbiasa masak, akhirnya mereka harus menikmati nasi dengan aroma gosong dan lebih parah ada yang belum matang. Tapi semua teman–teman Fiza menikmati dengan lahap masakan mereka. Setelah makan siang, semua peserta diajak menuju masjid di desa terdekat untuk melaksanakan sholat berjamaah. Bagi anak yang ingin buang air kecil atau besar bisa dengan leluasa memanfaatkan kesempatan itu. Fiza berjalan menghampiri Kania yang berjalan dengan rekan satu sangganya.

“Kania!” panggil Fiza.

“Hei, Bu ketua. Sudah makan belum?” tanya sahabatnya.

“Hehehe, sudah, makan nasi setengah matang plus bau gosong. Hahaha.”

“Hampir sama sih, tapi gue bawa bekal nasi dari Mama. Jadi, gue nggak makan masakan anak–anak. Hahaha.”

“Dih, di mana jiwa korsamu?” tanya Fiza kepada sahabatnya. Kania hanya terbahak sambil melanjutkan berjalan menyusul teman–temannya yang lain. Semua antri memasuki tempat wudhu. Para dewan ambalan sudah bersiaga mengawal para peserta kegiatan perkemahan. Setelah selesai wudhu satu per satu memasuki masjid untuk melaksanakan sholat dhuhur berjamaah. Diyas sudah berdiri di depan memimpin sebagai imam. Fiza dan Kania terperangah melihatnya. Mereka beradu pandang merasa tak yakin kalau Diyas ternyata sosok yang religius. Salam melantun dengan nyaring dari mulut Diyas. Semua anak larut dalam dzikir dan doanya masing–masing. Tak terkecuali Fiza yang masih larut dalam doa–doanya. Kemudian berdiri mendirikan sholat bakdiah dua rekaat. Diyas pun melihat sosok gadis bermukena hijau itu. Sosok yang begitu tenang dalam rukuk dan sujudnya. Setelah salam, Fiza segera melepas dan melipat mukenanya. Ia segera berdiri dan segera berlari menyusul teman–temannya yang lain.

“Tak usah lari. Kegiatan baru mulai jam 1 nanti.” Suara seorang pemuda terdengar ketika Fiza keluar dari bibir pintu. Fiza menoleh ke arah suara tersebut. Sosok itu menatap mata Fiza agak lama. Fiza seperti terhipnotis menatap mata yang tak pernah berani dia tatap. Fiza gelagapan. Hanya kalimat istighfar yang beberapa kali dia rapal dalam hatinya.

Lihat selengkapnya