Setelah sholat isya, semua anak kembali ke tendanya. Bunyi peluit mengalun-alun memanggil semua peserta keluar dari tenda sambil berlari–lari. Mereka segera membentuk barisan berbentuk lingkaran besar seperti aba–aba Diyas yang berdiri sebagai pusat. Di samping Diyas tampak tumpukan kayu sudah disiapkan untuk api unggun. Di sekeliling kayu tampak lingkaran lilin–lilin yang menyala dan juga beberapa lampion yang membuat malam yang dingin menjadi terlihat sedikit hangat. Api unggun selain sebagai penghangat badan juga untuk mengusir gangguan hewan buas.
Setelah pembacaan Dasa Darma, Tri Satya, dan Pancasila selesai, tiap orang yang membawa obor menyalakan api unggun tersebut. Api menyala perlahan menyibak dinginnya udara malam itu. Semua peserta kemah duduk bersila melingkari api unggun yang menyala–nyala sambil melihat pentas seni dari setiap sangga. Ada yang bermain musik, bernyanyi dan ada pula yang membaca puisi. Sementara Fiza dengan percaya diri memetik senar gitarnya dan diiringi suara rekan–rekannya bernyanyi dengan riang. Mereka tak hanya bernyanyi tapi juga menari. Suasana semakin ramai ketika penonton mulai memberi tepuk tangan. Fiza semakin bersemangat memainkan jemarinya membelai senar guna mengiringi paduan suara rekan-rekannya. Di belakang barisan peserta kemah, Diyas tersenyum melihat Fiza.
Sementara di pojokan ada Melinda yang sedang berdiri dengan Farhan. Mereka berdua berbicara pelan merencanakan sesuatu. Selesai dengan penampilannya, Fiza dan teman–temannya duduk kembali. Setelah acara pentas seni selesai, acara selanjutnya adalah renungan. Semua peserta disuruh menutup mata mereka dengan sal segitiga yang sedari awal acara mereka pakai. Kemudian para senior mulai merangkai kata-kata yang menyayat hati hingga beberapa anak mulai meneteskan air mata. Renungan berfungsi sebagai evaluasi bagaimana kita bersikap entah pada orangtua ataupun dalam beribadah kepada Tuhan. Inilah indahnya pramuka yang selalu memberikan sebuah pendidikan karakter bagi pemuda pemudi di Indonesia. Di tengah acara renungan tiba-tiba Melinda menggeret tangan Fiza dan memisahkan dia dari teman-temannya. Fiza kaget dan bertanya-tanya kenapa dia di geret menuju belakang. Gadis licik itu benar-benar meluapkan kebenciannya pada Fiza. Dia mengungkit masalah Fiza yang baru saja menjadi ketua OSIS dan masalah lainnya. Fiza masih terdiam dalam balutan sal berwarna hijau.
Melinda tersenyum bengis, dia semakin bernafsu untuk menjahili gadis di depannya. Melinda tahu kelemahan Fiza adalah fobia terhadap cicak. Dia sudah menyiapkan seekor cicak di dalam botol kecil. Melinda membuka botol dan menuangkan cicak itu ke dalam baju Fiza. Sontak Fiza berteriak, semua panitia segera menuju ke arahnya. Melinda sudah kabur sedari tadi setelah melakukan aksinya. Fiza masih menggeliat-geliat, hewan melata itu masih menempel di dalam bajunya. Diyas pun berlari melihat Fiza menangis ketakutan.
“Za, ada apa?” tanya Diyas dan beberapa panitia.
“Kak, ada sesuatu di dalam baju gue. Sepertinya hewan melata,” kata Fiza setengah menangis.
“Coba longgarkan baju lo!” perintah Siska di samping Fiza mencoba memberi bantuan. Seekor cicak jatuh dari baju Fiza. Diyas menyoroti hewan itu dengan senternya.
“Ya ampun. Cicak Sis?” tanya Diyas pada Siska.
“Iya,” jawab Siska singkat sambil memukul binatang kecil itu dengan tongkatnya.
Fiza terduduk lemas. Kakinya masih bergetar, gadis itu membuka sal penutup matanya. Dia melihat Diyas dan Siska berdiri di sampingnya. Mata Fiza tampak memerah karena menangis.
Setelah acara renungan berakhir, semua anak disuruh masuk ke tenda masing-masing. Tapi, Fiza memilih duduk di sudut api unggun. Fiza menikmati bintang yang bertaburan di langit sambil menafakuri kejadian yang menimpanya tadi. Sesekali tangannya diarahkan ke api yang masih menyala agar terasa hangat.
Diyas menghampiri Fiza yang sedang duduk termenung sendiri.
“Kenapa lo nggak masuk tenda?” tanya Diyas.
“Hm… gue nggak bisa tidur, Kak. Masih kepikiran siapa yang jahat sama gue,” desah Fiza.
“Hm… kalau menurut gue sih, orang bisa saja berbuat jahat terhadap kita. Tetapi ada Yang Maha Melihat. Setiap perbuatan pasti akan membuahkan hasilnya. Nggak usah takut, Za. Kita nggak bisa memaksa semua orang menyukai kita. Hidup itu selalu berpasangan. Jika ada yang suka pasti ada yang tidak suka. Jadi mending fokus pada kehidupan kita, masalah orang suka atau tidak suka itu urusan dia sama Tuhan,” ucap Diyas bijaksana. Fiza memandang wajah Diyas yang sedang menatap api unggun. Diyas pun menatap Fiza dan tersenyum, dari balik matanya ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan. Hal itu membuat jantung Fiza berdetak lebih cepat. Fiza segera mengelak semua perasaan yang menelisik di hatinya, dia segera memalingkan pandangannya menuju api unggun.
“Sudah lama aku nggak melihat bintang seperti ini,” kata Fiza mengalihkan topik.
“Lo baru pertama kali ikut kemah, ya?” tanya Diyas.
“Iya, kemah pertama gue malah jadi kenangan buruk,” dengus Fiza. Diyas tertawa, Fiza melihat senyuman yang sangat manis dari bibir Diyas. Hatinya memuji senyum hangat itu.
“Sudahlah, lo tuh harus mengobati fobhia lo itu, Za. Sama cicak saja takut. Kalau ketemu cicak langsung saja pukul. Bukan karena nggak suka saja, tapi itu sunah!” kata Diyas memberi masukan. Fiza hanya mengangguk pelan, dia tampak berpikir apakah dia berani melakukan hal itu. Malam bertabur bintang gemintang membawa sebuah kedamaian. Setelah masuk tenda, Fiza memutuskan istirahat sebentar. Setelah semuanya masuk tenda, Melinda melaksanakan niat busuknya. Dia mengendap-endap memasuki tenda perlengkapan dan mencari peta mencari jejak untuk rombongan Fiza. Dia menggantinya dengan peta yang dibawanya. Dia ingin Fiza dan rombongannya tersesat. Farhan berdiri di luar tenda sambil mengamati sekitar. Diyas yang baru saja membuat kopi di dekat tenda menyapa Farhan yang sedang berdiri.
“Sedang apa lo di sini?” tanya Diyas sambil membuka penutup tenda.
“Hm… Me-Melinda sedang ambil kopi di dalam tasnya,” jawab Farhan gelagapan. Seketika itu Melinda spontan mencari kopi di dalam tasnya.
“Hai Yas, mau minum bareng kita?” tanya Melinda sembari keluar dari tenda.