Pink Envelope

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #12

Bagian 12

Adzan subuh lamat-lamat terdengar dari masjid dekat bumi perkemahan. Fiza dan Sinta memutuskan menuju masjid untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Dengan tertatih menahan perih di kakinya Fiza berusaha untuk mengambil air wudhu. Sinta membantu menuntunnya. Percikan air yang dingin membuat rasa kantuk mereka menguap. Setelah selesai, tibalah rombongan peserta kemah datang membawa alat sholatnya. Fiza dan Sinta ikut sholat jamaah dengan para warga. Kania tampak khawatir mendengar Fiza jatuh.

“Za, lo baik-baik saja?” tanya Kania khawatir.

“Nggak apa-apa kok, Ka. Cuma lecet saja,” jawab Fiza sambil tersenyum.

“Lecet? Aduh, kenapa bisa sih?”

“Mending lo ambil air wudhu, terus sholat. Nanti gue cerita pas pulang nanti,” bujuk Fiza sambil mendorong sahabatnya menuju tempat wudhu. Kania hanya menuruti sahabatnya itu. Dia bergegas mengantri di belakang temannya yang lain.

Semburat surya beranjak dari singgasana penuh cahaya. Suara ocehan burung-burung yang bersiap terbang menjemput rejekinya. Awan berarak sesuka hati terbang melayang. Perlahan matahari kian beranjak. Sorotnya menyinari jutaan makhluk yang berada di belahan bumi ini. Fiza menghirup udara pagi dan menikmati indahnya matahari terbit dengan rasa kagum. Rasa syukur mereka ucapkan pagi itu. Sebuah pengalaman berharga mereka dapatkan tadi malam. Menepis segala ketakutan dan terus maju menggapai apa yang diinginkan.

Melinda dan Farhan tampak berbicara berdua menjauh dari yang lain. Setelah matahari agak tinggi, para peserta melakukan senam bersama. Tampak tawa dan canda keluar dari mulut para peserta yang sudah lelah berjalan. Mereka hanya tidur dua jam saja, bisa dibayangkan betapa berat mata mereka. Tapi, mereka masih larut dalam kebersamaan yang sangat menyenangkan. Setelah acara berberes peralatan dan menurunkan tenda selesai, mereka akan melakukan upacara penutupan. Diyas memandu para panitia untuk melakukan koordinasi. Banyak sekali yang harus dievaluasi sesampainya mereka sampai di sekolah nanti. Diyas meminta agar panitia tidak pulang terlebih dahulu. Mereka harus berkumpul di ruang Dewan Ambalan.

Semua anak tampak senang, mereka akan pulang. Kemah bantara itu telah menguras tenaga mereka. Tak bisa dipungkiri mereka sangat merindukan kasur dan selimut hangat di rumah. Tenda dilipat dengan cara bergotong royong. Semua barang-barang telah diangkut ke mobil perlengkapan. Upacara penutupan akhirnya dilaksanakan. Hana dan Oki yang maju sebagai perwakilan dalam penyematan palet di pundak mereka. Setelah itu Pembina Pramuka memberikan ucapan selamat pada mereka dan pada seluruh peserta. Semua peserta pun ikut memakai palet berwarna hijau dengan bordir benang berwarna emas membentuk tunas kelapa di kedua pundak masing-masing. Mereka tampak lebih gagah dan berwibawa dengan palet tersebut.

Fiza hanya memandang rekan-rekannya dari belakang barisan. Dia tidak bisa berdiri lama-lama karena kakinya masih terasa sakit. Fiza baru sadar kalau sepatunya tertinggal di lereng sungai. Mustahil untuk mengambilnya. Diyas memperhatikan Fiza sedang bertelanjang kaki, dia segera memberikan sepasang sandal jepit berwarna merah untuk gadis yang murung itu.

“Pakai saja, nggak mungkin mengambil sepatu lo sekarang. Besok lo beli sepatu baru saja. Tolong sampaikan permohonan maaf gue pada kedua orangtua lo,” ucap Diyas sembari pergi begitu saja. Gadis itu memperhatikan sandal merah tersebut. Dengan ragu-ragu dia memakainya. Agak kebesaran karena ukuran kaki Diyas lebih besar daripada kaki Fiza.

Ketika pulang, Fiza diminta untuk duduk di samping supir bersama Kania. Diyas dengan sigap membantunya naik. Kania tersenyum melihat Diyas yang sangat perhatian pada sahabatnya. Kania pun naik dan duduk di samping Fiza. Dia menyenggol tangan sahabatnya.

“Ciye, yang diperhatikan Kak Pradana. Hem, gue sampai meleleh. Kalau lo nggak meleleh artinya ada yang nggak beres dalam hati lo,” goda Kania sambil mengikik.

“Apaan sih?! Nggak ada waktu untuk memikirkan itu, lebih baik gue memikirkan siapa yang mencelakai gue,” kata Fiza tegas. Kania tampak lebih serius.

“Maksud lo apa?”

“Tadi malam pas renungan gue ditarik seseorang dan ada yang sengaja memasukkan seekor cicak ke dalam baju gue. Tahu sendiri kalau gue fobia cicak. Yang lebih parah adalah peta milik sangga gue disabotase. Kami tersesat dan pada saat itu ada yang jahil menakut-nakuti kami dengan suara yang seram. Gue pikir itu memang disengaja. Nah, pas kejadian itu, gue nggak sadar kalau di depan gue adalah lereng sungai. Makanya gue jatuh. Kepala gue terbentur pohon. Nih!” jelas Fiza sambil memperlihatkan dahinya yang dibungkus perban.

“Hm, gue curiga deh sama Kak Farhan yang datang tiba-tiba. Terus Melinda yang selalu bersama Kak Farhan. Jangan-jangan memang ada benang merah dari kejadian yang menimpa lo. Soalnya kemaren gue juga mendengar kalau Kak Melinda memang ngomong kalau mau melakukan sesuatu sama lo,” balas Kania agak ragu.

“Belum ada bukti, gue nggak mau menuduh siapa pun,” kata Fiza mencoba berbaik sangka.

Lihat selengkapnya