Fiza turun dari sepeda motor dengan tertatih. Ibunya sudah menanti kedatangannya sedari tadi sambil memainkan jemari-jemarinya membentuk sebuah dompet kecil berwarna merah jambu. Ayahnya segera menurunkan tas dan perlengkapan Fiza. Kata salam terucap dari mulut Fiza disambut ibunya yang khawatir melihat kondisi putri satu-satunya. Ibunya tampak penasaran dengan luka-luka di badan Fiza. Fiza hanya menjelaskan bahwa dia terjatuh. Ibunya meletakkan benang rajut di atas meja, kemudian membantu Fiza masuk ke dalam rumah. Tampak Fiza hanya meringis karena perih Ibunya segera menyiapkan air panas untuk Fiza. Fiza hanya terduduk lemas di atas sofa. Sementara Dew tertawa meledeknya, dia tidak peduli. Yang Fiza lakukan hanya memejamkan mata. Tapi, dia teringat sandal merah pemberian Diyas. Dia segera meletakkan sandal tersebut di rak sepatu di kamarnya. Jika ditaruh di luar ia khawatir akan digunakan ayah atau ibunya.
Setelah air hangat siap, Fiza segera menuju ke kamar mandi. Dia mengucapkan terima kasih pada ibunya. Ibunya tersenyum dan memberikan handuk Fiza ke pundak Fiza. Fiza membersihkan badannya meskipun harus menahan perih di sekujur tubuhnya. Setelah selesai, Fiza sudah ditunggu seluruh anggota keluarga di rumah itu untuk menikmati makan siang. Fiza tampak lahap menyantap makanan yang dibuat ibunya. Dia juga bercerita tentang pengalaman sewaktu kemah kemarin harus menyantap nasi gosong bersama teman-temannya. Dew meledek kakaknya karena tidak bisa memasak. Ibunya pun memberi masukan agar Fiza setiap pagi membantunya memasak. Agar kelak kalau sudah berumah tangga bisa masak makanan yang enak. Kunci utama seorang perempuan selain pandai mengembangkan bakatnya juga harus pandai mengolah bahan-bahan makanan menjadi sebuah hidangan yang menggoda lidah. Fiza hanya mengangguk tanda setuju.
Setelah selesai makan siang, Fiza memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Semalam saja tak memeluk boneka beruang yang ada di kamarnya seakan membuatnya rindu. Dia merebahkan badan dan perlahan memejamkan matanya. Tapi, beberapa saat ponselnya berdering. Ada Kania di ujung sana yang memanggil. Dengan segera Fiza mengusap layar ponselnya.
“Assalamualaikum Ka, lo belum istirahat?” tanya Fiza pelan.
“Waalaikumsalam ini juga di kamar. Tapi mau tidur kok gue masih kepikiran hal yang menimpa lo ya, Za. Gue yakin banget kalau Melinda ada sangkut pautnya,” kata Kania di ujung sana.
“Sudahlah, Gue lebih penasaran sama Big Tom. Apa dia memberi gue amplop lagi. Gue sudah nggaksabar ketemu Bu Tika.”
“Ye… orang yang belum jelas saja lo harapkan. Mending lo tuh memikirkan momen indah sama Kak Diyas,” goda Kania.
“Hm apaan sih? kalau gue perhatikan Kak Diyas sebenarnya baik kok, Ka. Tapi entah kenapa gue selalu berseberangan sama dia. Gue nggak yakin kalau dia suka sama gue,” kata Fiza sambil memejamkan matanya. Perlahan-lahan ponsel itu terlepas dari genggamannya. Kania di seberang sana masih asyik menggoda Fiza. Tapi tidak ada respon sama sekali. Akhirnya Kania kesal sendiri dan segera menutup panggilan itu.
Fiza memutuskan untuk izin tidak sekolah setelah merasa badannya merasa pegal-pegal. Dew yang sudah memakai seragamnya nampak menghampiri Fiza yang masih asyik duduk di meja makan.
“Lo serius nggak sekolah?” tanya adiknya sambil mengikat tali sepatunya.
“Nggak, badan gue remuk kayak gini. Ntar yang ada gue tidur mulu di kelas. Mana guru hari ini killer semua!” jawab Fiza sambil menyuapkan pisang bakar dengan taburan keju dan meses coklat.
“By the way, Kak Kania nggak apa-apa, kan?”
“Dih, sok-sokan mengkhawatirkan seorang Kania,” goda Fiza pada Dew.
“Ya jelas gue khawatir. Tuh badan lo sudah kayak buntelan gitu. Tempel sana tempel sini. Kali aja Kak Kania tersayang juga ngalamin kayak lo!”
“Kania nggak apa-apa. Dia nggak satu sangga sama gue. Jelaslah dia aman sulaiman. Yang apes tuh memang kebetulan gue doang!”
Dew nampak tertawa ketika melihat sosok kakaknya memberikan laporan soal gadis yang sedang ditaksir oleh Dew. Dengan senyum merekah dan wajah adik Sea yang hanya terpaut beberapa bulan itu langsung memerah. Nampaknya Kania sudah membuat Dew merasakan jatuh cinta. Bermula saat Kania main ke rumahnya, tak sengaja Kania terpeleset saat Dew membantu mengepel ruangan. Tangan Dew dengan sigap menangkap badan Kania. Hal itulah yang menjadi awal mula Dew merasakan debaran ketika menatap wajah Kania.
Sore yang sendu karena mendung menyelimuti jalanan di Ibukota. Kania sedang menghabiskan waktunya di depan televisi. Remote televisi dipencat-pencet tak karuan karena bosan dan tak ada yang menarik baginya. Dia memutuskan untuk keluar saja, berkeliling dengan sepeda motor. Mumpung ayahnya tak ada di rumah, dia bisa mengendarai motor itu.
Kania beranjak dari sofa dan segera bergegas menuju kamar untuk mengambil jaket. Bergegas dia mengendap-endap dari kamar untuk mengambil kunci motor yang ada di dapur. Kaki Kania pun mengambil kunci kemudian lari kencang agar tidak ketahuan ibunya. Setelah berhasil keluar dari rumah, dengan tersenyum manis Kania menaiki sepeda motor itu. Sepeda motor melesat cepat keluar dari rumah, sang ibunda hanya geleng-geleng kepala mengetahui anaknya pergi tanpa pamit ditambah memakai motor tanpa izin. Tapi, hari itu menjadi hari yang sial untuk Kania. Ban sepeda motor Kania tertusuk paku di jalan. Kania panik, dia segera turun dari motornya.
“Ya Allah, apes banget sih. Sekali bisa bawa keluar motor saja, bannya kempes!” gerutu Kania. Dia mendorong sepeda motor itu sambil bertanya kepada orang yang lalu lalang tempat tambal ban terdekat. Di saat tidak ada yang peduli dengan Kania. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang mendekati Kania yang duduk putus asa.
“Dik, bannya kempes?” tanya pemuda itu. Kania mendongakkan wajah dan melihat wajah pemuda itu.