Rutinitas Fiza semakin padat dengan kegiatan-kegiatan di OSIS. Dia sering pulang sore apabila ada kegiatan ekstrakurikuler maupun rapat koordinasi dengan para ketua seksi. Selain itu dia harus koordinasi dengan organisasi lain di lingkup sekolah itu. Dalam rapat Dewan Ambalan, Rohis dan sanggar seni yang ada di sekolah tersebut, Fiza mampu mengubah semua tatanan organisasi di sekolah itu. Semua organisasi dapat berjalan dalam satu komando. Organisasi yang mati suri kini sudah aktif kembali. Banyak pujian dan dukungan dari para guru-guru.
Tetapi dibalik kegiatannya yang padat, gadis itu masih menaruh rasa penasaran pada inisial Big Tom itu. Selama kemah, tak ada amplop yang ditaruh di meja Bu Tika. Hal itu bisa diasumsikan orang yang menaruh surat itu adalah seseorang yang ikut kemah kemarin. Fiza masih mengumpulkan semua amplop-amplop yang diberikan kepadanya. Dia meletakkan semua amplop itu pada sebuah kotak dari kardus bekas yang dihiasi dengan sampul kado berwarna merah hijau senada dengan warna kamarnya.
Fiza menemui Diyas untuk mengembalikan sandal warna merah milik Diyas. Ketika Fiza menyodorkan sandal dalam bungkus plastik itu, Diyas menolaknya.
“Simpan saja, siapa tahu sandal sederhana ini bisa memberikan sebuah memori indah tentang aku. Hehehe, tak selalu jadi seorang Diyas yang menjengkelkan,” kata Diyas tersenyum.
“Tapi, Kak?”
“Nggak usah khawatir. Gue masih punya sandal yang lain. Lo simpan saja! Anggap saja sebagai kenang-kenangan kemah kemarin,” ucap Diyas sembari beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ruang perpustakaan.
Hati Fiza sedikit berdebar melihat Diyas tersenyum dari kejauhan. Dia hanya merapal kalimat istighfar agar hatinya kembali tenang. Fiza masih menatap sepasang sandal jepit yang ada di tangannya. Gadis itu memutuskan kembali ke perpustakaan untuk melanjutkan belajar. Hari itu ada beberapa ulangan. Fiza masih sibuk dengan buku-bukunya. Suasana perpustakaan masih sepi dari kerumunan anak. Hanya beberapa orang saja yang menjadi pengunjung aktif di perpustakaan itu. Bu Tika menghampiri Fiza yang sedang asyik belajar. Bu Tika menyodorkan amplop merah jambu ke atas buku Fiza. Fiza memandang amplop itu, ini adalah amplop kesekian kali yang diterimanya.
Bu Tika membisikkan sebuah kabar besar. Ia tadi memergoki orang yang menaruh amplop-amplop itu. Betapa terkejutnya Fiza ketika mendengar bahwa orang yang meletakkan amplop itu adalah Diyas. Bagai disambar petir disiang hari. Sebenarnya dia belum percaya dengan apa yang disampaikan Bu Tika. Fiza berniat ingin membuktikan sendiri apakah benar orang berinisial Big Tom itu adalah Diyas.
Pikirannya semakin kalut, apalagi ulangan sudah di depan mata. Fiza berusaha mengalihkan pikirannya. Tetapi bayangan senyuman Diyas masih menghiasi dalam pikirannya. Bu Tika memperhatikan Fiza yang masih melamun. Dia segera menghampiri dan duduk di hadapan Fiza.
“Kalau menurut Ibu, Diyas orangnya baik kok, Za. Dia juga seorang yang memiliki jiwa pemimpin yang bagus. Dia juga bukan tipe pemuda yang memanfaatkan apa yang dia punya untuk memikat hati gadis-gadis cantik. Selama Ibu bekerja di sini, Ibu mengenalnya dengan baik. Karena selain kamu ada lagi pemuda yang hobinya berkunjung ke ruangan ini. Orang itu adalah Diyas,” kata Bu Tika menjelaskan.