Setelah bel akhir pelajaran berbunyi, Fiza memutuskan duduk di sebuah bangku taman di dekat perpustakaan. Hari ini ada rapat dengan Pembina OSIS, tetapi Pak Hari belum terlihat datang. Dia membuka sebuah buku yang dipinjamnya dari perpustakaan pagi tadi. Ketika sedang asyik membaca, ada Diyas yang menghampirinya. Fiza hanya menunduk ketika Diyas mengajaknya berbicara. Sebenarnya Fiza hanya menutupi perasaan canggung yang selalu hadir ketika Diyas berada di dekatnya. Diyas juga bercerita tentang Melinda yang sengaja mencelakai Fiza. Fiza melongo dibuatnya.
Mendung hitam menaungi langit disiang itu. Suara gemuruh dari langit terdengar dengan jelas pertanda siang itu akan turun hujan. Terlihat dari kejauhan ada seseorang yang memanggil Fiza untuk segera ke ruang OSIS. Fiza pamit kepada Diyas, Diyas hanya mengamati Fiza yang sedang berjalan. Sambil menggenggam bukunya, Fiza sebenarnya ingin bertanya tentang amplop itu. Tapi, Fiza mengurungkan niatnya. Dia belum memiliki bukti yang akurat tentang amplop-amplop itu.
Cerita Bu Tika belum cukup meyakinkan Fiza bahwa Diyaslah sebenarnya orang yang mengagumi Fiza. Fiza menepis rasa penasarannya, tetapi dia ingin membuktikan perkataan Bu Tika dengan mata kepalanya sendiri. Di ujung koridor tampak Melinda dan teman-temannya mengamati Fiza yang sedang berjalan menuju ruang OSIS. Ada rasa iri dan dengki di dalam dada Melinda. Setelah bosan Melinda meninggalkan teman-temannya karena melihat Diyas yang sedang berjalan. Melinda berlari menghampiri Diyas.
“Yas!” panggil Melinda. Diyas hanya menoleh dan cuek dengan kedatangan Melinda.
“Ada apa?”
“Yas, maafin gue ya. Tolong, maafin gue, please,” kata Melinda memohon.
“Lo tuh salah alamat minta maaf ke gue? Harusnya dia yang berhak dapat permohonan maaf lo!” gertak Diyas. Dia berjalan meninggalkan Melinda. Melinda dibuat kesal oleh sikap Diyas saat itu. Melinda marah-marah sendiri mendengar jawaban Diyas baru saja. Kedua teman setianya mendekati Melinda.
“Diyas bilang apa, Mel?” tanya Milka.
“Gila, gue disuruh minta maaf sama si Fiza!” jawab Melinda.
“Hahaha, kalau gue sih nggak akan minta maaf sama orang yang sudah merebut gebetan gue. Sekali musuh ya tetap aja musuh. Hih!” sahut Vina menambah amarah dalam diri Melinda semakin terbakar.
Melinda tampaknya tidak kapok membuat celaka Fiza. Malahan rasa dengki dan iri hatinya semakin membuat hatinya semakin busuk. Seakan pendidikan karakter yang diberikan dalam kepramukaan tak pernah lagi digunakannya. Dasa darma point kedua yang tak berlaku lagi bagi Melinda. Rasa cemburu dan iri hatinya membuat semakin membenci kehadiran Fiza. Melinda tersenyum sengit, rupanya dia menemukan sesuatu untuk membuat Fiza celaka lagi. Setelah kedua sahabatnya pergi, Melinda menunggu Fiza keluar dari gerbang sekolah. Gerimis membasahi bumi, tetesan demi tetesan air perlahan turun dengan deras. Melinda menyuruh anak buah Farhan, tampaknya pemuda itu memanggil Fiza dan memberitahu bahwa ada yang ingin berbicara empat mata padanya. Fiza tak menaruh rasa curiga padanya. Kemudian ia masuk lagi ke dalam sekolah. Fiza melangkahkan kakinya menuju perpustakaan seperti yang dikatakan kakak kelasnya itu.
Dia masuk ke dalam ruangan tersebut tanpa rasa curiga. Betapa kaget dirinya ketika mendapati tidak ada seorang pun yang berada di ruang tersebut. Dari balik pintu ada seseorang yang mengunci pintu ruangan tersebut. Fiza kaget, dia baru sadar kalau Melinda telah menjebaknya. Fiza berusaha mendorong-dorong pintu tersebut tapi tak bisa dibuka, apalagi semua jendela dan pintu itu sudah ada tralis besi. Fiza tampak sudah putus asa dia hanya berteriak minta tolong dari ruangan tersebut. Sesore ini tidak ada penghuni sekolah bahkan penjaga sekolah pun tak nampak hidungnya. Gadis itu menengok dari balik jendela tidak ada satu pun orang yang ada di sekitar ruang tersebut. Fiza pasrah jika harus bermalam di perpustakaan. Dia juga khawatir jika kedua orangtuanya mencarinya. Ketika ayah Fiza datang menjemput tadi, Melinda bilang kalau Fiza sudah pulang. Tanpa curiga pula sang ayah juga langsung pulang ke rumah. Sialnya Fiza tak bisa menghubungi ayahnya karena ponselnya tertinggal di kamar.
Untuk mengobati rasa jenuh, Fiza menghidupkan televisi di ruang tersebut. Sambil mengambil buku yang ingin dibacanya. Rasa lapar menghinggapinya. Untuk melakukan sholat, Fiza terpaksa tayamum dan menggelar sajadahnya di lantai. Mendapati anak gadisnya belum pulang juga orangtua Fiza menjadi khawatir. Mereka menghubungi teman-teman terdekat anaknya. Orang pertama yang ditanya adalah Kania. Mendengar Fiza belum pulang sampai jam delapan malam, Kania menjadi bingung. Dia berusaha menghubungi teman-temannya yang lain, tapi hasilnya nihil. Orangtua Fiza tampak khawatir sekali dengan keberadaan anak gadisnya. Mereka memutuskan untuk berkeliling kota untuk mencari Fiza tapi hasilnya nihil. Mereka tak menemukan anak gadisnya.
“Kita lapor polisi saja, Yah,” kata ibunda Fiza sambil menangis khawatir dengan nasib putrinya.
“Kita tunggu dulu malam ini ya, Bun. Besok kalau Fiza belum ketemu, ayah akan buat laporan ke polisi. Sekarang kita pulang dulu saja ya. Dew juga belum pulang,” bujuk sang ayah. Dew bertemu dengan ayah dan ibunya yang nampak sedang dilanda rasa khawatir. Masih mengenakan seragam futsal tim sekolahnya, Dew akhirnya mendekati kedua sosok orangtuanya.
“Bun, Yah, kenapa malam-malam di sini? Ayah sama Bunda mau jalan-jalan?” tanya Dew penasaran.
“Ah, Dew. Kebetulan kamu sudah pulang, Nak. Kakakmu belum pulang, apa kamu mendapat kabar darinya?” tanya sang bunda.
“Nggak. Hm… Ayah sama Bunda pulang saja. Biar Dew yang cari,” bujuk Dew.