Dalam kamar mandi Fiza mengguyurkan air agar badannya lebih segar. Setelah memakai seragamnya kembali, ia langsung menuju ruang tata usaha untuk meminjam telepon menghubungi kedua orangtuanya di rumah. Gagang telepon diangkatnya dan dipencetnya satu demi satu tombol angka, nada tunggu masih terdengar. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk ibunda Fiza mengangkat telepon. Sapaan dari putri kesayangan membuat mata ibunda Fiza semakin cerah.
“Ya Allah, Nak, kamu dimana, Sayang? Mamah dan Ayah dari tadi malam mencari kamu. Kamu sekarang dimana, Sayang?” cerca ibunya. Ayahnya yang tidur di sofa terbangun ketika mendengar nama anaknya disebut. Pak Firdaus mendengar suara Fiza di samping istrinya.
“Ada yang jahatin Fiza, Mah, Fiza dikunci di ruang perpustakaan. Baru tadi aku bisa keluar. Soalnya penjaga sekolahnya lagi pulang ke rumahnya. Tapi, Mama dan Ayah tak usah khawatir ya. Fiza baik-baik saja kok,” kata Fiza dari seberang mencoba meyakinkan kedua orangtuanya. Pak Firdaus segera merebut gagang telepon dari istrinya.
“Siapa yang melakukannya, Nak?” tanya Pak Firdaus geram.
“Sudahlah, Yah. Yang penting aku baik-baik saja. Sudah ya, Fiza sekolah dulu. Mau ke kantin dulu, lapar. Dari kemaren sore belum makan.”
“Nanti Ayah mampir ke sekolah kamu dulu, Nak. Biar Ayah bawakan bekal dari rumah. Kamu yang sabar ya, Nak.”
“Ya, Yah. Terima kasih,” kata Fiza mengakhiri perbincangan via telepon.
Pak Firdaus segera menyuruh istrinya untuk membuatkan sarapan untuk anaknya. Pak Firdaus segera berlari ke kamar mandi mengguyur air ke seluruh badannya agar rasa capeknya hilang dan bisa kembali segar.
Fiza mengucapkan terima kasih kepada pegawai tata usaha. Dia bergegas menuju kantin untuk mengisi perutnya yang lapar. Kania berjalan dari lorong memanggil sahabatnya. Kania memeluk sahabatnya itu erat-erat. Dia tampak senang melihat sahabatnya itu. Fiza mengajak Kania menemaninya ke kantin untuk sarapan. Kania penasaran kenapa Fiza bisa hilang kemarin malam. Fiza bercerita tentang kejadian yang menimpanya. Kania benar-benar terkejut, tapi dia sepertinya tahu siapa pelaku yang mengunci sahabatnya. Fiza juga bercerita tentang kejadian tadi di dalam ruang perpustakaan saat bertemu dengan Diyas. Kania mendengarkan dengan seksama cerita yang keluar dari mulut sahabatnya.
“Terus Kak Diyas nembak lo?” tanya Kania penasaran. Fiza menggeleng.
“Ah, nggak seru ah. Harusnya dia nembak lo saat itu,” sahut Kania berapi-api.
“Gue nyuruh Kak Diyas menjauhi gue, Ka.” Kalimat itu membuat Kania kaget hingga menyemburkan teh panas yang baru saja dia minum.
“Hah, kenapa? Lo nggak suka sama Kak Diyas? Aduh, lo nolak rejeki kalau gitu caranya. Gue saja mau jadi pacar Kak Diyas. Sayangnya dia sukanya sama lo, bukan sama gue,” seloroh Kania.
“Melinda suka sama Kak Diyas. Karena Kak Diyas, gue sering kena sial. Gue nggak mau mengulang menginap di sekolah sendirian. Mending-mending tadi malam gue di ruang perpustakaan. Gimana jadinya kalau gue dikunci di gudang sekolah yang pengap itu. Kan horor, Ka. Gue nggak mau ah, walaupun gue sebenarnya juga ….” Fiza berhenti berkata memikirkan sesuatu.